Jumat, 25 Maret 2011

ibu kost

Nama saya adalah Aldo. Saya merupakan mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi di kota Bogor. Saya memiliki pengalaman yang tak akan saya lupakan seumur hidup saya. Kejadian itu terjadi pada waktu saya masih kuliah di tingkat 1 semester ke-2.
Saat itu saya tinggal di sebuah rumah yang oleh pemiliknya disewakan untuk kost kepada mahasiswa. Saya tinggal bersama 2 orang mahasiswa lain yang keduanya merupakan kakak kelas saya. Pemilik rumah kos itu adalah seorang Dosen yang kebetulan sedang studi di Jepang untuk mendapatkan gelar Doktor. Ia telah tinggal di Jepang kurang lebih 6 bulan dari rencana 3 tahun ia di sana.
Agar rumahnya tetap terawat maka ia menyewakan beberapa kamar kepada mahasiswa yang kebetulan kuliah di dekat rumah itu. Yang menjadi Ibu kost-ku adalah istri dari Dosen yang pergi ke Jepang tersebut. Namanya sebut saja Intan. Aku sering menyebut ia Ibu Intan. Umurnya kira-kira sekitar 30 tahunan dengan seorang anak umur 4 tahun yang sekolah di TK nol kecil. Jadi di rumah itu tinggal Ibu Intan dengan seorang anaknya, seorang pembantu rumah tangga yang biasa kami panggil Bi Ana, kira-kira berumur 50 tahunan, aku dan kakak kelasku bernama Kardi dan Jun.
Ibu Intan memiliki tubuh yang lumayan. Aku dan kedua kakak kelasku sering mengintip dia apabila sedang mandi. Kadang kami juga sering mencuri-curi pandang ke paha mulusnya apabila kami dan Ibu nonton tivi bareng. Ibu Intan sering memakai rok apabila dirumah sehingga kadang-kadang secara tidak sadar sering menyingkapkan paha putihnya yang mulus. Ibu Intan memiliki tinggi kurang lebih sekitar 165 cm dengan bodinya yang langsing dan putih mulus serta payudara yang indah tapi tak terlalu besar kira-kira berukuran 34 B (menurut nomer dikutangnya yang aku liat di jemuran). Ibu Intan memiliki wajah yang lumayan imut (mirip anak-anak). Dia sangat baik kepada kami, apabila dia menagih uang listrik dan uang telepon dia meminta dengan sopan dan halus sehingga kami merasa betah tinggal di rumahnya.
Pada suatu malam (sekitar bulan maret), kebetulan kedua kakak kelasku lagi ada tugas lapangan yang membuat mereka mesti tinggal di sana selama sebulan penuh. Sedangkan anak Bu Intan yang bernama Devi lagi tinggal bersama kakeknya selama seminggu. Praktis yang tinggal di rumah itu cuma aku dan Ibu Intan, sedangkan Bi Ana tinggal di sebuah rumah kecil di halaman belakang yang terpisah dari rumah utama yang dikost-kan. Malam itu kepalaku sedikit pusing akibat tadi siang di kampus ada ujian Kalkulus. Soal ujian yang sulit dan penuh dengan hitungan yang rumit membuat kepalaku sedikit mumet. Untuk menghilangkan rasa pusing itu, malamnya aku memutar beberapa film bokep yang kupinjam dari teman kuliahku. “Lumayan lah, mungkin bisa ngilangin pusingku”, pikirku. Aku memang biasa nonton bokep di komputerku di kamar kosku apabila kepala pusing karena kuliah.

Pada saat piringan kedua disetel, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara pintu kamarku terbuka. “Hayo Aldo, nonton apaan kamu?” Ibu Intan berkata padaku. “Astaga, aku lupa menutup pintu kamar” gerutuku dalam hati. Ibu Intan telah masuk ke kamarku dan memergoki aku sedang nonton film bokep. Aku jadi salah tingkah sekaligus malu. “Anu bu, aku cuma..” jawabku terbata-bata. “Boleh Ibu ikut nonton?” katanya bertanya padaku “Boleh..” jawabku seakan tak percaya kalo dia akan nonton film bokep bareng aku. “Dah lama nih Ibu ga nonton film kaya’ gini. Kamu sering nonton ya?” katanya menggodaku. “Ah, gak bu..” jawabku “Hmm.. bagus juga adegannya” dia berkata sambil memandang adegan yang berlangsung.
Akhirnya kami sama-sama menonton film bokep tersebut. Kadang-kadang dia meremas-remas payudaranya sendiri yang membuat kemaluanku berdiri tegak. Dia memakai daster putih malam itu kontras dengan kutang dan celana dalam warna hitam. Kadang aku melirik dia dengan sesekali memperhatikan dia yang sesekali memegang kemaluannya dan menggoyangkan pinggulnya seperti cewe yang sedang menahan kencing. Pemandangan itu membuat darahku mendesir dan membuat batang kejantananku berontak dengan sengit di dalam celana dalamku. Tiba-tiba dia bertanya, “Do, kamu pernah melakukan seperti yang di film tadi ga?” Aku terkejut mendengar kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Belum” jawabku. “Ah masa?” tanya dia seakan tak percaya. “Bener bu, sumpah.. aku masih perjaka kok” jawabku. “Kalo pacarmu ke kamarmu ngapain aja? ayo ngaku” tanyanya sambil tersenyum kecil. “Ah ga ngapa-ngapain kok bu, paling cuma diskusi masalah kuliah” jawabku. “Yang bener.. trus kalian ampe buka-bukaan baju ngapain? emang Ibu a tau.. ayo ngaku aja, Ibu dah tau kok” tanyanya sambil mencubit pipiku.
Wajahku jadi merah padam mendengar dia berkata seperti itu, ternyata ia sering ngintipin aku ama pacarku. “Iya deh.. aku emang sering bermesraan sama pacarku tapi ga sampai ML, paling jauh cuma oral dan petting aja” jawabku jujur. “Ohh..”, katanya seakan tak percaya. Akhirnya kita terdiam kembali menikmati film bokep. Akhirnya film itu selesai juga juga. “Do, kamu bisa mijit ga”, tanyanya. “Dikit-dikit sih bisa, emang kenapa bu?” “Ibu agak pegel-pegel dikit nih abis senam aerobik tadi sore. Bi Ana yang biasa mijetin dah tidur kecapekan kerja seharian, bisa kan?” “Boleh, sekarang bu?” “Ya sekarang lah, di kamar Ibu yah.. ayo”.
Aku mengikuti Ibu Intan dari belakang menuju ke kamarnya. Baru pertama kali ini aku masuk ke kamar Ibu kosku itu. Kamarnya cukup luas dengan kamar mandi di dalam, kasur pegas lengkap dengan ranjang model eropa. Di sebelahnya ada meja rias, lemari pakaian dan meja kerja suaminya. Kamar yang indah. “Ini minyaknya”, Bu Intan menyerahkan sebotol minyak khusus buat memijat. Minyak yang harum, pikirku. Aku emang belum pernah mijat tapi saat ini aku harus bisa. Ibu Intan kemudian membuka dasternya, hanya tinggal kutang dan celana dalam hitam yang terbuat dari sutera. Melihat pemandangan ini aku hanya bisa melongok takjub, tubuhnya yang putih mulus tepat berdiri di hadapanku.
“Ayo mo mijit ga? Jangan bengong gitu”. Aku terhentak kaget. Aku lupa kalo saat itu aku mo mijit dia. Akhirnya dia berbaring telungkup dia atas kasur. Aku mulai melumuri punggungnya dengan minyak tersebut. Aku mulai memijit dengan lembut. Kulitnya lembut sekali selembut sutera, kayanya dia sering melakukan perawatan tubuh, pikirku dalam hati. “Ahh.. enak juga pijatanmu Do, aku suka.. lembut sekali. ” Aku memijat dari bahunya sampai mendekati pantat, berulang-ulang terus. “Do, tolong buka kutangku. Tali kutangnya ga nyaman, ganggu pijatannya” katanya menyuruh aku tuk membuka kutangnya. Aku membuka tali kutangnya dan Ibu Intan kemudian melepas kutangnya. Sesekali aku memijat sambil menggelitik daerah belakang telinganya. “Ssshh.. ahh..” dia mendesah apabila daerah belakang telinganya kugelitik dan apabila lehernya kupijat dengan halus. “Do, tolong pijat juga kakiku ya..” katanya.
Aku mulai meminyaki kakinya yang panjang dan ramping. Sungguh kaki yang indah. Putih, bersih, mulus, tanpa cacat dengan sedikit bulu-bulu halus di betis. Pikiranku mulai omes, aku sedikit kehilangan konsentrasi ketika memijat bagian kakinya. “Do, tolong pijat sampai ke pangkal paha ya..” pintanya sambil memejamkan mata. Ketika tanganku memijat bagian pangkal pahanya, dia memejamkan mata sambil mendesah seraya menggigit bibir pertanda dia mulai “panas” akibat pijatanku. Aku mulai nakal dengan memijat-mijat sambil sesekali menggelitik daerah-daerah sensitifnya seperti leher dan pangkal pahanya. Dia mulai menggeliat tak karuan yang membuat kejantananku berontak dengan keras di celana dalamku.
Tiba-tiba dia berkata, “Do, bisa mijit daerah yang lain ga?” “Daerah yang mana bu?” Tiba-tiba dia membalikkan badannya seraya membimbing kedua tanganku ke atas payudaranya. Posisi badannya sekarang adalah telentang. Dia hampir telanjang bulat, hanya tinggal segitiga pengamannya saja yang belum terlepas dari tempatnya. Aku tertegun melihat pemandangan itu. Payudaranya yang indah membulat menantang seperti sepasang gunung kembar lengkap dengan puncaknya yang kecoklatan. Aku meremasnya dengan lebut sambil sesekali melakukan “summit attack” dengan jari jemariku mempermainkan putingnya. Seperti memutar tombol radio ketika mencari gelombang.
Ia mulai menggelinjang tak karuan. “Ahh.. oohh.. sshh”, dia mendesah sambil membenamkan kepalaku menuju payudaranya. “Do.. Jilatin payudaraku Do.. cepat..”. Aku mengabulkan permintaannya dengan memainkan lidahku diatas putingnya. Lidahku bergerak sangat cepat mempermainkan putingnya secara bergantian seperti penari samba yang sedang bergoyang di atas panggung. “Oohh.. yyess.. uukkhh..” Dia terus mendesah sambil mencengkramkan tangannya di pundakku. Dia memeluku dengan erat. Semakin cepat aku meminkan lidahku semakin keras desahannya. Lidahku mulai naik ke daerah leher dan bergerilya di sana. Bergerak terus ke belakang telinga sambil tanganku memainkan putingnya. Dia terus mendesah dan dengan sangat terlatih membuka baju dan celanaku. Sekarang yang kupakai hanya celana dalam yang menutupi rudal Scud-ku. Kami mulai berpelukan dan berciuman dengan ganasnya. Ternyata dia sangat ahli dalam mencium. Bibirnya yang lembut dan lidah kami yang saling berpagutan membuatku serasa melayang seperti lalat.
Dia mulai menciumi leherku dan sesekali menggigit kupingku. Aku semakin rakus dengan menjilatinya dari mulai leher sampai ujung kaki. “Aahh..”, aku mendesah ketika tangannya menyusup ke markasku mencari rudalku, mengenggamnya dan mengocoknya dengan tangannya yang lembut.
Dengan bantuan kakinya dia menarik celana dalamku sehingga celana dalamku terlepas. Aku telah telanjang bulat. Terlihat seorang prajurit lengkap dengan topi bajanya berdiri tegak siap untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya. “Oohh.. auhh.. sshh..”, dia terus memainkan prajuritku dengan tangannya.
Tanganku mulai membuka celana dalamnya yang telah basah oleh cairan pelumas yang keluar dari dalam lobang vaginanya. Terlihat sebuah pemandangan yang indah ketiga segitiga pengaman itu terlepas. Sebuah pemandangan yang sangat indah di daerah selangkangan. Jembutnya yang rapi terurus dan vaginanya yang berwarna merah muda membuat darahku mendesir dan kejantananku semakin menegang. “Oohh.. nikmaatt.. truss..”, dia berkata sambil mendesah ketika lidahku menggelitik daging kecil di atas lobang vaginanya. “Oohh.. sshh.. Yess.. truuss..” Semakin cepat aku memainkan lidahku semakin cepat juga dia mengocok kontolku. Aku terus mempercepat ritme lidahku, badannya semakin bergerak tak terkontrol. Tanpa sadar tangannya membenamkan kepalaku ke selangkangannya, aku hampir tak bisa bernapas. Aku mencium aroma khas vagina yang harum yang membuat lidahku terus menjilati klitorisnya. “Ohh.. Ssshh.. Ukhh”, dia terus mendesah. “Do.. ahh.. lebih cepat.. ukhh.. aku mo keluar nih..” “Ahh..”, terdengar lenguhan panjang dari bibirnya yang mungil. “Aukhh..”, tiba-tiba badannya menegang hebat.
Kedua tangannya menggenggam kepalaku dengan erat dan vaginanya semakin basah oleh cairan yang keluar. Dia mengalami orgasme klitoris, yaitu orgasme yang dihasilkan akibat perlakuan pada kelentitnya. “Do, nikmat sekali.. Aku tak menyangka kamu pandai bersilat lidah”, katanya sambil napasnya terengah-engah. Ketika aku siap untuk menembakkan rudalku, tiba-tiba ia berkata, “Do, aku punya sebuah permainan untukmu”. “Permainan apa?” tanyaku. “Pokoknya kamu ikut aja, permainan yang mengasyikkan. Mau?” tanyanya. “Oke..”, jawabku.
Dia mengambil sebuah slayer dan menutup mataku, kemudian menyuruhku berbaring terlentang dan mengikut kedua tanganku dengan selendang yang telah ia siapkan. Kedua tanganku dan kakiku diikat ke empat penjuru ranjang sehingga aku tak bisa bergerak. Yang bisa aku gerakkan cuma pinggulku dan lidahku. Aku pun tak bisa melihat apa yang dia lakukan padaku karena mataku tetutup oleh slayer yang dia ikatkan. Aku seperti seorang tawanan. Aku hanya bisa merasakan saja. Tiba-tiba aku merasakan lidahnya mulai bergerilya dari mulai ujung kakiku. Trus bergerak ke pangkal paha. “Ahh”, aku mendesah kecil. Lidahnya terus bergerak ke ke atas menuju perutku, terus menjilati daerah dadaku. “Oohh.. Ssshh..”, aku mulai mendesah keenakan. Lidahnya terus naik ke leherku dan mencium bibirku. Kemudian lidahnya mulai turun kembali. “Ohh.. yyeess.. uukkhh..”, aku mendesah hebat ketika lidahnya bermain di daerah antara lubang anus dan biji pelerku. “Aahh..”, aku terus mendesah ketika dia mulai menjilati batang kemaluanku dari mulai pangkal sampai kepalanya, terus menerus, membuat tubuhku berkeringat hebat menahan rasa yang amat sangat nikmat.
“Panjang juga ya punya kamu”, Ibu Intan berkata padaku seraya mengulum penisku masuk ke dalam mulutnya. “Ahh.. eenaakk.. sshh”, aku mendesah ketika batang kejantananku mulai keluar masuk mulutnya. Sesekali dia menghisapnya dengan lembut. Dia terus mengulum penisku dan semakin lama semakin cepat. Dia memang ahli, pikirku. Tidak seperti kuluman pacarku yang masih minim pengalaman. Ibu Intan merupakan pengulum yang mahir. “Aahh.. ahh.. ah.. aahh.. sshh.. teruss”, aku memintanya supaya mempercepat kulumannya. Ingin rasanya menerkam dia dan menembakkan rudalku tapi apa daya kedua kaki dan tanganku terikat dengan mataku tertutup.
Tiba-tiba ada sesuatu di dalam penisku yang ingin mendesk keluar. “Ahh.. sshh.. Bu, aku mo keluarr”, kataku Mendengar itu, semakin cepat ritme kulumannya dan membuatku tak tahan lagi untuk mengeluarkan spermaku. “Aaahh..”, aku mengerang hebat dan tubuhku mengejang serta gelap sesaat ketika cairan itu mendesak keluar dan muncat di dalam mulut Bu Intan. Aku seperti melayang ke awang-awang, rasanya nikmat sekali ingin aku teriak enak. “Enak juga punyamu Do, protein tinggi”, katanya seraya menjilatai sperma yang tumpah.
Tiba-tiba aku tak merasakan apa-apa. Tak lama kemudian aku mencium aroma khas vagina di depan hidungku. Ternyata Bu Intan meletakkan vaginanya tepat di mulutku dan dengan cepat aku mulai memainkan lidahku. “Sshh.. truuss.. ahh.. eennaakk..”, ia mendesah ketika lidahku memainkan kembali daging kecil miliknya. Semakin ia mendesah semakin aku terangsang. Tak lama kemudian prajurit kecilku kembali menegang hebat. “Aahh.. sshh.. Ukkhh.. yess”, ia semakin hebat mendesah membuat rudalku telah mencapai ereksi yang maksimal akibat desahannya yang erotis. Lama kelamaan vaginya semakin basah kuyup oleh cairan yang keluar akibat terangsang hebat. “Aku ga tahan lagi Do”, katanya seraya mengangkat vaginanya dari mulutku.
Dia memindahkan vaginanya dari mulutku dan entah kemana dia memindahkannya karena mataku tertutup oleh slayer yang dia ikatkan kepadaku. Tiba-tiba aku merasakan kemaluanku digenggam oleh tangannya dan dituntun untuk masuk ke dalam sutau lubang hangat sempit dan basah oleh cairan pelumas. Ahh.. baru pertama kali ini aku merasakan nikmatnya vagina. Meskipun Ibu Intan bukan perawan tapi yang kurasakan sempit juga juga vaginanya. Dengan perlahan Ibu Intan mulai membenamkan kemaluanku ke dalam vaginanya sehingga seluruh kemaluanku habis ditelan oleh vaginanya. Aku merasakan nikmat dan geli yang luar biasa ketika kemaluanku masuk ke dalam vaginanya. Posisiku telentang dengan Bu Intan duduk di atas kemaluanku persis seperti seorang koboi yang sedang bermain rodeo.
Dengan perlahan tapi pasti, Ibu Intan mulai memainkan pinggulnya naik turun secara perlahan. “Aaahh.. uuhh”, desahku ketika Ibu Intan memainkan pinggulnya naik turun secara perlahan dan sesekali memutarkan pinggulnya. Itu membuat diriku seperti melayang ke udara. Aku pun mulai menggoyangkan pantatku naik turun. “Do.. giiillaa.. enaakk ssekali..”, teriak bu Intan. Aku tak mampu untuk berkata-kata lagi. Aku hanya bisa mendesah dan mendesah. Lama kelamaan Ibu Intan mulai mempercepat ritme goyangannya, naik turun dan sesekali memutarkan pinggulnya.
Tak mau kalah, aku pun mulai mempercepat sodokanku. “oohh.. yess.. ohh..”, desah Ibu Intan. “Ahh.. uhh.. goyang terruss buu”, kataku. “Enaakk.. Doo.. tolong cepetin sodokanmu Do..”, katanya. Sodokanku semakin cepat dan semakin cepat pula Ibu Intan menggoyangkan pinggulnya. “Ohh.. shit.. oohh.. nnikkmmat..”, Ibu Intan berteriak seraya menjambak rambutku.
Dia mulai membuka slayerku. Aku bisa melihat pemandangan yang sungguh menakjubkan sekaligus menggairahkan di depanku. Tubuh Ibu Intan yang bergoyang membuat rambutnya acak-acakan dan seluruh tubuhnya penuh dengan keringat. Payudaranya yang putih bersih dengan putingnya yang kecoklatan ikut bergoyang seirama dengan goyangan pinggulnya yang mengocok kemaluanku. Mukanya yang manis dengan mata yang sesekali merem melek, mulutnya yang mendesah dan sesekali mengeram serta wajahnya yang dipenuhi keringat membuat ia keliatan seksi dan menggairahkan. “Ahh.. shit.. oh.. god.. ohh.. enak..”, desahnya. Aku melihat Ibu Intan yang setiap hari terlihat lembut ternyata memiliki sisi yang sangat menggairahkan dan terlihat haus akan sex. Ibu Intan pandai memainkan ritme goyangannya, kadang dia melambatkan goyangan pinggulnya kadang dengan tiba-tiba mempercepatnya. Aku hanya bisa mengikuti perrmainannya dan aku sangat menikmatinya.
“Aaahh..!”, aku berteriak keenakan ketika aku merasakan diantara goyangannya yang mengocok kemaluanku, vaginanya seperti menghisap kemaluanku. “Mampus kamu Do.. tapi enak kan? Itu namanya “hisapan maut”.. Ibu mempelajarinya melalui senam Keggel..”, katanya sambil memandangku dengan liar. Aku semakin mempercepat sodokanku dan Ibu Intan pun mempercepat goyangannya naik turun dan berputar secara bergantian sesekali dilakukannya hisapan maut yang membuat seluruh tulang dalam tubuhku seperti terlepas dari persendiannya. Ibu Intan mulai menciumi leherku dan bibirku.
Kami semain “panas” dan lidah kami saling berpagutan sementara sodokan kemaluanku dan goyang pinggulnya semakin lama semakin cepat. “Uhh.. ahh.. shh.. ahh..”, aku mendesah. Ibu Intan semakin ganas menciumiku seraya aku mempercepat sodokannya. Aku merasakan sesuatu akan keluar mendesak dari penisku. “Bu Intan.. ahh.. uhh.. shh.. akkuu mauu kkeluarr..”, kataku. “Ibu juga.. ahh.. tahann.. kita keluarin sama-sama.. sshh ahh..”. “Aku ga tahan lagi bu..”.
Tiba-tiba Ibu Intan berteriak panjang. “Aaahh..” sambil memelukku dengan sangat erat. “Aaahh..”. bersamaan dengannya aku merasakan penisku memuntahkan cairan hangat di dalam vaginanya.Kami berciuman dan kurasakan tubuhnya dan tubuhku mengejang hebat menahan kenikmatan yang amat sangat. Gelap sesaat yang diiringi kenikmatan yang luar biasa membuat tubuhku seperti melayang jauh ke awang-awang. Nikmatnya melebihi masturbasi yang sesekali aku lakukan.
Kami sama-sama terkulai lemas dengan napas yang terengah-engah seperti dua olahragawan yang telah balap lari. Ibu Intan menatapku sambil tersenyum manis. Aku hanya terdiam menatap langit-langit. “Do, kamu nyesel ga ML sama Ibu?”, tanya Ibu Intan kepadaku. “Nggak bu..”. “Terus kenapa kamu termenung begitu?”. “Aku cuma bingung, aku kan mengeluarkan sperma di dalam vagina Ibu, aku cuma khawatir nanti Ibu hamil gara-gara saya” “Ha.. ha.. ha.. jadi itu yang kamu khawatirkan?” “Iya bu. ” “Tenang aja, Ibu teratur ko minum pil kb. Jadi kamu ga perlu khawatir?

ibu muda

Sebut saja namaku Dandy 30 tahun, 170/65 berparas seperti kebanyakan orang pribumi dan kata orang aku orangnya manis, atletis, hidung mancung, bertubuh sexy karena memang aku suka olah raga. Aku bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan besar di kota Surabaya dan statusku married. Perlu pembaca ketahui bahwa sebelum aku bekerja di Surabaya ini, aku adalah tergolong salah satu orang yang minder dan kuper karena memang lingkungan keluarga mendidik aku sangat disiplin dalam segala hal. Dan aku bersyukur sekali karena setelah keluar dari rumah (baca:bekerja), banyak sekali kenyataan hidup yang penuh dengan “warna-warni” serta “pernah-pernik”nya. Kisah ini berawal terjadi sebagai dampak seringnya aku main chatting di kantor di saat kerjaan lagi kosong. Mulai muda aku adalah termasuk seorang penggemar sex education, karena buat aku sex adalah sesuatu yang indah jika kita bisa menerjemahkannya dalam bentuk visualnya. Dan memang mulai SD, SMP sampai SMA hidup aku selalu dikelilingi cewek-cewek yang cakep karena memang aku bisa menjadi “panutan” buat mereka, itu terbukti dengan selalu terpilihnya aku menjadi ketua osis selama aku menempuh pendidikan.
Kembali pada ceritaku, dunia chatting adalah ‘accses’ untuk mengenal banyak wanita dengan segala status yang mereka miliki; mulai ABG, mahasiswi, ibu muda sampai wanita sebaya, di luar jam kantor. Dan mulai dari sinilah aku mulai mengenal apa itu “kehidupan sex having fun”. Suatu hari aku chatting dengan menggunakan nickname yang menantang kaum hawa untuk pv aku, hingga masuklah seorang ibu muda yang berumur 32 tahun sebut saja namanya Via. Via yang bekerja di salah satu perusahaan swasta sebagai sekretaris dengan paras yang cantik dengan bentuk tubuh yang ideal (itu semua aku ketahui setelah Via sering kirim foto Via email aku). Kegiatan kantor aku tidak akan lengkap tanpa online sama dia setiap jam kantor dan dari sini Via sering curhat tentang kehidupan rumah tangganya. Karena kita berdua sudah sering online, Dia tidak segan-segan menceritakan kehidupan sexnya yang cenderung tidak bisa menikmati dan meraih kepuasan. Kami berdua share setiap kesempatan online atau mungkin aku sempatkan untuk call dia. Hingga suatu hari, kami putuskan untuk jumpa darat sepulang jam kantor, aku lupa tanggal berapa tapi yang pasti hari pertemuan kami tentukan bersama hari Jum’at. Setelah menentukan dimana aku mau jemput, sepulang kantor aku langsung kendarai mobil butut starletku untuk meluncur di tempat yang janjikan. Dengan perasaan deg-deg an, sepanjang perjalanan aku berfikir secantik apakah Via yang usianya lebih tua dari aku 2 tahun. Dan pikiranku terasa semakin amburadul ketika aku bener-bener ketemu dengan Via. Wow! Aku berdecak kagum dengan kecantikan Via, tubuhnya yang sexy dengan penampilannya yang anggun membuat setiap kaum adam berdesir melihatnya. Tidak terlihat dia seorang ibu muda dengan 3 orang anak, Via adalah sosok cewek favorite aku. Mulai dari wajahnya, dadanya, pinggulnya dan alamak.. pantatnya yang sexy membuat aku menelan ludahku dalam-dalam saat membayangkan bagaimana jika aku bisa bercinta dengan Via. Tanpa pikir panjang dan menutupi kegugupan aku. Aku memancing untuk menawarkan pergi ke salah satu motel di sudut kota (yang aku tahu dari temanku). Sepanjang perjalanan menuju hotel, jantungku berdetak kencang setiap melirik paras Via yang cantik sekali dan aku membayangkan jika aku dapat menikmati bibirnya yang tipis.. Dan sepanjang itu juga “adik kecilku” mulai bangkit dari tidurnya. Tidak lama sampailah kami di salah satu Motel, aku langsung memasukan mobilku ke dalam salah satu kamar 102.
Di dalam kamar aku sangat grogi sekali bertatapan dengan wajah Via.. “Met kenal Dandy,” Via membuka obrolan. “hey Via..,” aku jawab dengan gugup. Aku benar-benar tidak percaya dengan yang aku hadapi, seorang ibu rumah tangga yang cantik sekali, sampai sempat aku berfikir hanya suami yang bego jika tidak bisa menyayangi wanita secantik Via. Kami berbicara hanya sekedar intermezo saja karena memang kami berdua tampak gugup saat pertemuan pertama tersebut. Sedangkan jantungku berdetak keras dibareng “adik kecilku” yang sudah meronta ingin unjuk gigi. “Dandy meskipun kita di sini, tidak apa-apakan jika kita tidak bercinta,” kata Via. Aku tidak menjawab sepatah katapun, dengan lembut aku gapai lengannya untuk duduk di tepi ranjang. Dengan lembut pula aku rangkul dia untuk rebahan di ranjang dan tanpa terasa jantungku berdetak keras, bagaikan dikomando aku menciumi leher Via yang terlihat sangat bersih dan putih. “Via kamu sangat cantik sayang..,” aku berbisik. “Dann.. jangan please..,” desahan Via membuat aku terangsang. Lidahku semakin nakal menjelajahi leher Via yang jenjang. “Akhh Dandy..”

Tanpa terasa tanganku mulai nakal untuk menggerayangi susu Via yang aku rasakan mulai mengencang mengikuti jilatan lidahku dibalik telinganya. “Ooohh.. Danddyy..” Via mulai mengikuti rangsangan yang aku lakukan di dadanya. Aku semakin berani untuk melakukan yang lebih jauh.. “Via, aku buka jas kamu ya, biar tidak kusut..,” pintaku. Via hanya mengikuti pergerakan tanganku untuk memreteli jasnya, sampai akhirnya dia hanya mengenakan tanktop warna hitam. Dadaku semakin naik turun, ketika pundaknya yang putih nampak dengan jelas dimukaku. Setelah jas Via terbuka, aku berusaha naik di tubuh dia, aku ciumi bibir Via yang tipis, lidahku menjelajahi bibirnya dan memburu lidah Via yang mulai terangsang dengan aktivitas aku. Tanganku yang nakal mulai menarik tanktop warna hitam dan.. Wow.. tersembul puting yang kencang.. Tanpa pikir panjang aku melepas lumatan di bibir Via untuk kemudian mulai melepas BH dan menjilati puting Via yang berwana kecoklatan. Satu dua kali hisapan membuat puting Via berdiri dengan kencang.. sedangkan tangan kananku memilin puting Via yang lain nya. “Ooohh Danndyy.. kamu nakal sekali sayang..,” rintih Via. Dan saat aku mulai menegang.. “Tok.. tok.. tok.. room service.” Ahh.. sialan pikirku, menganggu saja roomboys ini. Aku meraih uang 50.000-an dikantong kemejaku dengan harapan supaya dia cepat pergi.
Setelah roomboy’s pergi, aku tidak memberikan kesempatan untuk Via bangkit dari pinggir. Parfum Via yang harum menambah gairah aku untuk semakin berani menjelajahi seluruh tubuhnya. Dengan bekal pengetahuan sex yang aku ketahui (baik dari majalah, film BF maupun obrolan-obrolan teman kantor), aku semakin berani berbuat lebih jauh dengan Via. Aku beranikan diri untuk mulai membuka CD yang digunakan Via, dan darahku mendesir saat melihat rambut-rambut kemaluan yang sangat lebat di bagian nonok Via. Tanpa berfikir lama, aku langsung menjilati, menghisap dan sesekali memasukkan lidahku ke dalam lubang nonok Via. “Oohh.. Dan.. nikmat.. sayang,” Via merintih kenikmatan setiap lidahku menghujam lubang nonoknya dan sesekali menekan kepalaku untuk tidak melepaskan kenikmatan itu. Dan disaat dia sedang menikmati jilatan lidahku, telunjuk jari kiriku aku masukkan dalam lubang nonok dan aku semakin tahu jika dia lebih bisa menikmati jika diperlakukan seperti itu. Terbukti Via menggeliat dan mendesah disetiap gerakan jari  keluar masuk. “Aakkhh Dann.. kamu memang pintar sayang..,” desah Via. Disaat kocokkan jariku semakin cepat, Via sudah mulai memperlihatkan ciri-ciri orang yang mau orgasme dan sesat kemudian.. “Dann.. sayang.. aku nggak tahan.. oohh.. Dan.. aku mau..” visa menggelinjang hebat sambil menggapit kedua pahanya sehingga kepalaku terasa sesak dibuatnya. “Daann.. ookkhh.. aakuu keluaarr.. crut-crut-crut.” Via merintih panjang saat nonoknya memuntahkan cairan kental dan bersamaan dengan itu, aku membuka mulut aku lebar-lebar, sehingga carian lendir birahi itu tidak ada yang menetes sedikitpun dalam mulutku.
Aku biarkan Via terlentang menikmati orgasmenya yang pertama, sambil membuka semua pakaian yang aku kenakan, aku memperhatikan Via begitu puas dengan foreplay aku tadi, itu terlihat dari raut wajahnya yang begitu berbinar-binar. Tanpa memberi waktu panjang, aku segera menghampiri tubuhnya yang masih lemas dan menarik pinggulnya dipinggir ranjang, dan tanpa pikir panjang ******ku yang berukuran 19 cm dengan bentuk melengkung, langsung menghujam celah kenikmatan Via dan sontak meringis.. “Aaakhh.. Dandy..,” desah Via saat ******ku melesak kedalam lubang nonoknya. “Dandyy.. ****** kamu besar sekali.. aakkh..” Aku merasakan setiap gapitan bibir nonoknya yang begitu seret, sampai aku berfikir suami macam apa yang tidak bisa merasakan kenikmatan lubang senggama Via ini? Aku berpacu dengan nafsu, keringatku bercucuran seperti mandi dan menetes diwajah Via yang mulai aku rasakan sangat menikmati permainan ini. “Danddyy.. sudah.. sayang.. akhh..” sembari berteriak panjang aku rasakan denyutan bibir nonok mengapit batang ******ku. Dan aku rasakan cairan hangat mulai meleleh dari nonok Via. Aku tidak mempedulikan desahan Via yang semakin menjadi, aku hanya berusaha memberikan kepuasan bercinta, yang kata Via belum pernah merasakan selama berumah tangga. Setiap gerakan maju mundur penisku, selalu membuat tubuh Via menggelinjang hebat karena memang bentuk ******ku agak bengkok ke kiri.
Tiba-tiba Via mendekap tubuhku erat dan aku tahu itu tanda dia mencapai orgasme yang kedua kalinya. ******ku bergerak keluar masuk dengan cepat dan.. “Dann.. aku.. mau.. keluarr lagi.. aakk.. Kamu hebat sayang, aku.. nggak tahan..,” seiring jertian itu, aku merasakan cairan hangat meleleh di sepanjang batang ******ku dan aku biarkan sejenak ******ku dalam nonoknya. Sesaat kemudian aku melepas ******ku dan mengarahkan ke mulut Via yang masih terlentang. Aku biarkan dia oral ******ku. “Ahh..,” sesekali aku merintih saat giginya mengenai kepala ******ku. Disaat dia asik menikmati batang ******ku, jariku yang nakal, mulai menelusuri dinding nonok Via yang mulai basah lagi. “Creek.. crekk.. crek..,” bunyi jariku keluar masuk di lubang nonok Via. “Ohh.. Dandy.. enak sekali sayang..” 1.. 2.. 3.. 4.. 5.. jariku masuk bersamaan ke lubang nonok Via. Aku kocok keluar masuk.., sampai akhirnya aku nggak tahan lagi untuk mulai memasukkan ******ku, untuk menggantikan 5 jariku yang sudah “memperkosa” lubang kewanitaannya.
Dan.. “Ohh.. sayang aku keluar lagi..” Orgasme yang ketiga diraih oleh Via dalam permainan itu dan aku langsung meneruskan inisiatif menindih tubuh Via, berkali-kali aku masukkan sampai mentok. “Aaakhh.. sayang.. enak sekali.. ohh..,” rintih Via. Bagaikan orang mandi, keringatku kembali berkucuran, menindih Via.. “Sayang aku boleh keluarin di dalam..,” aku tanya Via. “Jangan.. aku nggak mau, entar aku hamil,” jelas Via. “Nggak deh sayang jangan khawatir..,” rengekku. “Jangan Dandyy.. aku nggak mau..,” rintihan Via membuat aku semakin bernafsu untuk memberikan orgasme yang berikutnya. “Akhh.. oohh.. Dandy.. sayang keluarin peju kamu sayang.. aakkhh..,” Via memintaku. “Kamu jangan tunggu aku keluar Dandy.. please,” pinta Via.
Disaat aku mulai mencapai klimaks, Via meminta berganti posisi diatas. “Dandy aku pengen di atas..” Aku melepas ******ku dan langsung terlentang. Via bangkit dan langsung menancapkan ******ku dalam-dalam di lubang nonoknya. “Akhh gila, ****** kamu hebat banget Dandy asyik.. oohh.. enak..,” Via merintih sambil menggoyangkan pinggulnya. “Aduhh enak Dandy.. “ Goyangan pinggul Via membuat gelitikan halus di ******ku.. “Via.. Via.. akh..,” aku mengerang kenikmatan saat Via menggoyang pinggulnya. “Dandy.. aku mau keluar sayang..,” sambil merintih panjang, Via menekankan dalam-dalam tubuhnya hingga ******ku “hilang” ditelan nonoknya dan bersamaan dengan itu aku sudah mulai merasakan klimaks sudah diujung kepala. “Via.. Via.. ahh..” Aku biarkan pejuku muncrat di dalam nonoknya. “Croot.. croot..” semburan pejuku langsung muncrat dengan derasnya dalam lubang Via, tetapi tiba-tiba Via berdiri. “Aakhh Dandy nakal..” Dan Via berlari berhamburan ke kamar mandi untuk segera mencuci pejuku yang baru keluar dalam nonoknya, karena memang dia tidak menggunakan pernah menggunakan KB.
Permainan itu berakhir dengan penuh kenikmatan dalam diri kami berdua, karena baru saat bercinta denganku, dia mengalami multi orgasme yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. “Dandy, kapan kamu ada waktu lagi untuk lakukan ini semua sayang,” tanya Via. Aku menjawab lirih, “Terserah Via deh, aku akan selalu sediakan waktu buatmu.” “Makasih sayang.. kamu telah memberikan apa yang selama ini tidak aku dapatkan dari suami aku,” puji Via. “Dann.. kamu hebat sekali dalam bercinta.. aku suka style kamu,” sekali lagi puji Via. Pertemuan pertama ini kita akhiri dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan dengn kata-kata, dan hanya kami berdua yang bisa rasakan itu. Aku memang termasuk orang yang selalu berusaha membuat pasanganku puas dan aku mempuyai fantasi sex yang tinggi sehingga tidak sedikit abg, mahasiswi dan ibu muda yang hubungi aku untuk sekedar membantu memberikan kepuasan buat mereka.

yuni

Aku masih ingat siang itu mendadak harus ke Surabaya, karena ada beberapa surat penting yang harus kubawa maka aku mampir dulu kerumah dalam perjalanan ke Cengkareng. Sesampaiku dirumah, kulihat pintu depan tertutup, kupejet bel berkali kali barulah muncul Tutut pembantu rumahku. Dengan sedikit mengomel aku segera masuk, ketika aku berjalan menuju kamarku, kudengar suara orang berbicara dihalaman belakang dekat kolam renang, ketika kuhampiri rupanya isteriku ada disitu dengan Yuni temannya serta seorang anak muda yang tampan sekali dengan tubuh yang kurus tinggi. Dalam hati aku terkesiap, karena aku tahu bahwa cowok seperti itulah idola isteriku, disamping aku juga agak heran karena tak biasanya isteriku menemui tamunya dengan hanya memakai duster saja pada jam seperti ini, sedangkan Yuni memakai baju renang.
Ketika kusapa mereka semua kelihatannya biasa saja, malahan aku sempat dikenalkan dengan Boy anak muda itu yang katanya keponakan Yuni. Dari jabatannya yang panas, aku yakin kalau anak muda ini baru melakukan sesuatu yang membutuhkan banyak energi, tetapi aku masih ragu ragu memikirkan apakah dia baru main dengan isteriku.
Aku benar benar ingin tahu jawabnya, maka aku langsung masuk kekamarku dan memeriksa tempat tidur, sesuatu yang tidak biasanya aku lakukan. Benar saja kulihat diatas tempat tidurku ada bekas cairan basah yang aku yakini pasti itu sperma dan lendir kepuasan yang keluar dari nonok Novie, ketika aku masuk kekamar mandi, kulihat celana dalam Novie tergeletak dilantai. Barulah aku yakin kalau isteriku tadi ini main dengan Boy, aku jadi terangsang sendiri membayangkan isteriku main dengan anak muda seperti itu, apakah dia bisa puas, dan apakah Yuni juga ikut main ? Setelah menenangkan debaran jantungku, aku memencet interkom dan meminta isteriku untuk masuk kekakamr. Novie mendatangiku dengan riang tanpa perasaan apa apa, ia mengira kalau aku membutuhkan sesuatu.

Memang benar aku butuh sesuatu, begitu Novie disampingku, aku langsung memeluknya dan menciumnya, Novie juga dengan antusias membalas ciumanku itu ” Nov, aku mesti ke Surabaya, ayo kita main dulu ya, aku lagi kepengen nich ” Novie tertawa sambil memukul dadaku “Lalu bagaimana dengan tamunya, masak dibiarkan saja diluar ” Aku tak menjawab malahan aku sengaja memasukkan tanganku kedalam dusternya dan meremas pantatnya, benar seperti dugaanku, Novie tak memakai celana dalam. Kuremas remas pantatnya ” biarin saja mereka menunggu, kan mestinya mengerti kalau kamu lagi repot” Novie cekikikan, tetapi ia menyambar interkom dan memberitahu Yuni supaya menunggu karena dia lagi repot denganku. Aku sendiri sibuk menyingkapkan duster Novie untuk melihat nonoknya, benar benar hebat…. rupanya Novie belum sempat membersihkan nonoknya itu. Karena meskipun kelihatannya bersih, tetapi dimata akhli seperti aku, aku yakin kalau nonoknya habis dipakai dan belum dibersihkan. Kalau tokh dibersihkan paling juga cuma dijilati sampai kering seperti hobby Novie selama ini. Aku merasakan asin ketika liang nonok Novie kujilat.
Tak mau menunggu lama aku segera mencopot celanaku dan mengeluarkan ******ku, Novie langsung menungging karena dia tahu kalau lagi tergesa gesa maka aku paling senang main dengan menungging ini. Ketika ******ku sudah amblas seluruhnya, barulah aku bicara ” Nov, kamu barusan main dengan Boy ya, aku tahu lho” Novie hanya tertawa, “idih Papa sok tahu aja ” Aku bilang lagi, “nggak apa apa deh, tetapi bagaimana, mainnya pinter mana sama aku ? Novie menjawab sambil tetap menggoyang goyangkan pantatnya, “kalau rasanya sih enak punya Papa, tetapi karena petualangan jadi ya kerasa juga enaknya ” “Lalu Yuni apa kamu ajak juga ?” “Enggak, Yuni cuman nunggu didepan, malu ach !” “Bagaimana kalau sekarang kita panggil Yuni buat nemenin kita ?” Belum sempat Novie menjawab aku sudah menyambar intercom dan memanggil Yuni agar masuk kekamarku. Novie menolak sambil tertawa tawa, tetapi aku diam saja, ketika kudengar langkah Yuni memasuki kamarku aku justru mempercepat genjotanku keliang nonok Novie…… Yuni berteriak lirih ketika melihat aku yang hanya melepas celana panjangku sedang menyodok pantat Novie yang cuman menaikkan dusternya itu, ia menutup mulutnya dengan tangan sebagai ungkapan kekagetannya, tapi itu tak lama, karena ia segera tertawa lirih melihat kelakuan kami itu.
Aku mencabut ******ku dari liang nonok Novie, aku langsung mendatangi Yuni dan melucuti baju renangnya, Yuni mencoba untuk berontak karena memang selama ini aku tak pernah “main main” dengan Yuni meskipun hubungan kami sangat akrab dan sepertinya tak ada rahasia diantara kami. Tapi kali ini aku benar benar ingin main bertiga, aku, Novie dan Yuni, karena Yuni terus berontak maka aku peluk dia sehingga ******ku yang gede dan ngaceng itu menempel dipantatnya. Ketika aku berhasil melepaskan pakaian renangnya, Yuni lari kearah Novie yang tenang tenang saja duduk disofa sambil tertawa, aku segera mendekati Yuni dan langsung kusodorkan ******ku kemulut Yuni, dengan ragu ragu Yuni menoleh kearah Novie. Ketika dilihatnya Novie hanya tersenyum barulah Yuni mengangakan mulutnya dan memasukkan ******ku kedalam mulutnya. Ketika kucoba mendorong ******ku lebih masuk kemulut Yuni, Yuni mendadak terbatuk batuk, rupanya ia tak terbiasa dengan ****** sebesar punyaku. Ia memuntahkan ******ku sehingga membuat ******ku jadi mengangguk angguk tanpa musuh. Aku langsung merubah sasaran, kutelentangkan Yuni yang badannya montok itu diatas tempat tidur dan kurentangkan kakinya lebar lebar. Kini dihadapanku tubuh Yuni sudah tergolek pasrah siap untuk disetubuhi, tubuh putih mulus itu tampak sangat merangsang dengan susu yang padat, sementara putingnya tampak merah kecoklatan dan sudah berdiri tegak mengacung keatas pertanda Yuni sudah cukup terangsang, jembutnya tampak tumbuh dengan suburnya menutupi nonoknya yang tampak sudah mengeluarkan lendir birahi yang cukup banyak. Dengan posisi menjongkok kutuntun ******ku keliang nonok Yuni yang merekah ungu kehitaman itu, Yuni memejamkan matanya, bahkan isteriku sempat berkata agar aku hati hati. Benar saja begitu masuk ujungnya dan kucoba kutekan agar ambles, maka Yuni merintih dan ******ku macet nggak bisa masuk. Ternyata nonok Yuni sempit sekali, tanpa banyak omong kucabut ******ku dan langsung kudekatkan mulutku keliang nonok Yuni dan mulai menjilati nonok Yuni, sekali geseran lidahku menyentuh itil Yuni, Yuni langsung terpekik. Dua tiga kali kuselusupkan lidahku kedalam liangnya, Yuni sudah basah kuyup.
Dengan puas, aku kembali mengarahkan ******ku keliang nonok Yuni, tetapi sebelumnya kusuruh Novie mengulum ******ku agar lebih basah lagi. Karena meskipun nonok Yuni sudah basah dan licin, tetapi aku masih khawatir kalau tidak bisa masuk seluruhnya. Setelah ujung ******ku berlumur liur Novie, barulah ujung ******ku kutekankan ke liang nonok Yuni, begitu kurasakan ujungnya sudah terjepit bibir nonok Yuni, langsung kusentak dan ..kali ini ******ku berhasil menembus liang Yuni dan menyentuh dasar kemaluan Yuni. Dengan hunjaman hujaman yang cepat aku memompakan ******ku ke liang kemaluan Yuni yang berpasir dan seret sekali itu, Yuni sama sekali tak bereaksi, mungkin dia agak sungkan pada isteriku kalau dia kelihatan menikmati persetubuhannya denganku itu. Aku tak perduli, yang penting saat itu nafsuku betul betul menggelora, kugigit buah dada Yuni yang mengkal itu, Yuni hanya menggeliat dan mendesah. Ketika aku merasa kalau air maniku sudah terkumpul diujung ******ku dan segera akan muncrat, aku menancapkan ******ku dalam dalam dan kubiarkan saja tertanam disitu.
Yuni juga diam saja ketika kucium bibirnya dan saat itulah kumuntahkan air maniku kedalam liang nonok Yuni. Aku tahu kalau Yuni belum mencapai kepuasannya, tetapi aku pura pura acuh saja, bahkan Yuni secara demonstratif mendorong tubuhku. Aku tersenyum kepadanya dan memandang isteriku yang masih duduk di tepi tempat tidur, “Bagaimana Yun, puas ? tanya isteriku pada Yuni, Yuni hanya menyeringai dan melirik padaku dengan ujung matanya. Aku menjawab enteng, “Mana bisa Yuni puas, habis kamu nungguin sih, entar kalau mau puas kapan kapan kita nginap di pulau bertiga saja, nah pasti kamu semua akan jadi puas ! Tanpa menunggu jawaban dari mereka, aku langsung memakai pakaianku, mengambil dokumen yang kubutuhkan dan langsung ke Cengkareng. Sejak saat itu aku dan isteriku bisa bertambah fair dalam masalah seks, meskipun boleh dikata aku tak pernah melihat isteriku memasukkan pria, tetapi aku seringkali mengajak teman isteriku untuk berkencan dengan sepengetahuan isteriku sendiri. Dan aku sendiri tahu kalau isteriku seringkali juga main dengan pria lain, pasti dia suatu kali juga pernah menemukan pria yang lebih hebat dariku, tetapi untunglah bahwa kami tetap kompak untuk menikmatinya tanpa rasa marah atau sakit hati

tante anna n tante susi

Kisah ini tentang Aku, tante Anna dan Temannya Tante Susi Kali ini saya kedatangan Tante saya, Tante Anna dan temannya yang saya panggil dengan Mbak Susi. Mbak Susi adalah orang sunda asli dengan kulitnya yang putih bersih, tinggi 167 cm dengan berat 50 kg sesuai dengan payudara yang saya perkirakan 34A, pasti membikin orang menoleh pada Mbak Susi.
Umur Mbak Susi sekitar 36 tahun, 3 tahun lebih tua dari saya, makanya saya panggil dengan Mbak. Tante Anna orangnya supel dengan tinggi 171 cm, berat 53 kg dan berkulit kuning langsat dengan payudara yang kencang karena rajin fitnes, ukuran 34B. Cantiknya seperti artis Hongkong Rosamund Kwan kira-kira dan Mbak Susi seperti artis Venna Melinda. Mereka berdua ke Lombok dalam rangka tugas perusahaan selama lima hari.
*****
“Ndi, nanti anterin Mbak Susi ya” kata Tante Anna sambil membereskan pakaian dalamnya.
“Kemana Tante?” jawab saya sekenanya, sambil jelalatan melihat BH merah punya Tante Anna, sungguh pemandangan yang
indah, BH-nya segini ukurannya apalagi isinya.. He.. He..
“Mbak mau ke mall sebentar beli pulsa nich!” Mbak Susi menjawab mengandeng tangan saya akrab.
“Beres boss..”
Kemudian saya dan Mbak Anna ke mall, di dalam taksi saya perhatikan Mbak Anna sungguh seksi dengan hem atasan berwarna
putih ketat memperlihatkan payudaranya yang membusung dan rok mini diatas lutut berwarna biru, hingga lekuk-lekuk celana
dalamnya samar-samar tercetak serta wangi parfumnya yang segar. Sungguh membuat saya pengin ******* aja. Tapi itu
harapan saja coy.
“Ramai juga mallnya ya!”
“Iya.. Eh.. Mbak.. Sini” lalu saya menarik tangannya, sungguh halus dan lembut.
“Counter handphone di sana toh”
Karena ramai maka saya Mbak Susi mepet di depan saya hingga pantatnya yang terbungkus rok menempel di depan ****** saya.
Wah ini kesempatan nich pikir saya dalam hati, saya tempelkan ****** saya yang sudah tegak kepantatnya Mbak Susi, untuk
tadi saya pakai celana panjang kain. Sensasinya begitu nikmat, apalagi dimasukin nich. Asoy geboy mak. Selesai acara
mepet-mepetan tad karena udah sampai dan bla, bla, bla tanpa kejadian yang hot.

Di malam ketiga, saya, Tante Anna dan Mbak Susi ngobrol sampe malam, kira-kira jam 21.00.
“Ndi Mbak Susi tidur duluan ya”
“Iya Mbak.. Mimpi yang indah ya Mbak!”
Lalu menyusul Tante Anna yang malam itu memakai longdress yang belahannya seolah-olah tak muat untuk payudara yang putih
bersih itu. Malam itu Tante Anna tidur sekamar dengan Mbak Susi di kamar tamu. Tinggal saya yang memencet-mencet tombol
remote TV karena acaranya tak begitu bagus. Kira-kira jam 23.00 saya mendengar jeritan kecil, karena penasaran saya
datangi sumber suara itu dan arahnya ternyata dari kamar tamu.
Saya jadi penasaran nich, kebiasaan ngintip kambuh lagi nich pembaca, kamar tamu itu cuma dibatasi kaca nako yang
kebetulan kordennya setengah tertutup. Wah asyik nich, yang saya lihat sungguh mengagetkan dan mengasyikkan. Tante Anna
sedang menggerayangi Mbak Susi, tangan Tante Anna sedang meremas-remas payudara Mbak Susi yang sudah terbuka setengahnya
dan baju atas piyamanya sudah tidak beraturan lagi, menampakkan payudara dan BH hijaunya. Mmh sedap.
“Rat.. Jangan.. Apa yang kamu lakukan” Mbak Susi berusaha menahan tangan payudaranya.
“Sus.. Tolong saya Sus.. Mmh..” rintih Tante Anna sambil mencium leher kemudian bibir Mbak Susi dengan liar sambil
menarik BH hijau Mbak Susi hingga terpampanglah dua gunung putihnya.
“Jang.. an.. Saya.. Masih suka sama pria Rat..” terengah-engah Mbak Susi menjawab karena Tante dengan giat mencium dan
mengulum mulut, kemudian ke bawah puting Mbak Susi yang sudah kencang itu digigit dan dikulum Tante Anna dengan gemas
sambil tangan mengusap-ngusap celana dalam Mbak Susi yang berwarna putih itu.
“Pe.. Lan.. Ada Andi tuch”
“Udah diam aja kamu Sus!” bentak Tante Anna pelan, sambil membuka longdressnya yang ternyata tidak memakai BH dan celana
dalam.
“Ssh.. Geli.. Anna.. Ssh..” rintih Mbak Susi yang kelihatan sudah mulai terangsang.
Tante Anna mulai menciumi perut dan vagina Mbak Susi yang terbungkus celana dalam putih, beberapa menit kemudian
terbukalah celana dalam Mbak Susi dan Tante Anna mengambil posisi 69, saling menjilat vagina masing sambil jari tangan
Tante Anna tak henti keluar masuk vagina Mbak Susi yang sudah mulai basah.
“Ce.. Pat.. Sus.. Saya mau keluar!”
“I.. Ya.. Rat.. Samaan.. Ke.. Luarnya ya” jawab Mbak Susi sambil mempercepat jarinya begitu juga Tante Anna.
Kedua wanita itu saling mempercepat kegiatan masing-masing dan akhirnya mereka orgasme. Kemudian mereka tidur bugil
sambil berpelukan. Ah.. Ternyata ****** saya dari tadi juga sudah keluar nich, biasa ngocok sendiri.
*****
Keesokan paginya..
“Pagi Tante.. Pagi Mbak Susi” salam saya pada kedua wanita tersebut.
“Pagi” jawab mereka bersamaan.
“Enak ya mimpinya” sindir saya sambil melihat Mbak Susi yang tersipu malu.
“Mmh.. Lumayanlah” Mbak Susi menjawab sambil melihat Tante saya.
“Ooh ya, nanti anterin Mbak Susi ke pantai sengigi ya ndi”
“Beres Tante, pokoknya puas dech”
Kemudian Tante Anna pergi meeting lagi dan saya kebagian tugas nganterin Mbak Susi, ini kesempatan namanya, kapan lagi
******* sama orang cantik kayak artis lagi. Sore itu jan 15.10 saya anter Mbak Susi memakai mobil sewaan ke Senggigi.
“Mbak, tadi malam ngapain aja di kamar sama Tante!”
“Eh.. Ya tidur dong Ndi” jawab Mbak Susi agak sedikit grogi.
“Mbak Susi ******* ya sama Tante”
“Hus.. Ngawur kamu Ndi” Mbak Susi mencubit saya sambil melotot.
“Lho.. Wong Andi lihat kok, kalo nggak ngaku tak bilangin orang sekantornya Mbak Susi lho”
“I.. Ya.. Iya.. Mbak Susi ngaku dech, tapi jangan bilangin siapa-siapa ya”
Mobil kuparkir di tempat yang agak sepi dan jam sudah menunjukkan jam 18.20 malam.
“Boleh tapi ada syaratnya!”
“Kok pakai syarat.. Minta uang nich!” kata Mbak Susi akan membuka dompet.
“Duit sich mau.. Tapi bukan itu, Andi pengin ******* ama Mbak Susi”
“Apa.. Gila.. Kamu..”
“Kubilangin lho..”
“Iya.. Dech.. Tapi bagian atas aja ya” jawab Mbak Susi pasrah sambil pindah dan bersandar pada bangku belakang. Saya
mengikutinya dan sore itu Mbak Susi memakai kaos kuning ketat dan celana jins.
“Lho.. Kok.. Dilihat aja, nggak mau ya!” goda Mbak Susi.
“Mmh.. Pe.. Lan.. Ndi..” terengah-engah Mbak Susi saat saya cium dan kami saling melumat.
Tangan saya meremas payudara sebelah kanan yang masih terbungkus kaos kuningnya. Beberapa menit kami berciuman dan
kemudian saya arahkan ke leher untuk membuat cupang merah. Tangan saya sudah menyelusup ke dalam kaos dan BH putihnya
sambil memelintir putingnya.
“Ssh.. Mmh.. Aah..” rintih Mbak Susi sambil tangannya masuk ke dalam celana jins saya dan meremas-remas ****** saya yang
sudah tegak dari tadi.
Saya buka celana jins saya dan membiarkan Mbak Susi dengan leluasa meremas-remas ****** saya. Kemudian saya buka pengait
BH-nya dan muncullah dua bukit kembarnya yang tegak menantang, tanpa menunggu lagi saya lahap dan jilat sampai Mbak Susi
merintih-rintih keenakan.
“Terr.. Us.. Ndi.. Pin.. Dah sebelah lagi”
Beberapa menit kami saling meremas dan menjilat, saya kemudian melepas celana jins dan CD putih Mbak Susi, wah
betul-betul vagina yang sempurna, tanpa pikir panjang saya cium dan jilat vaginanya yang sudah basah oleh cairan kental
putih itu, sambil menjilat saya masukkan jari tangan agar Mbak Susi bertambah merintih tidak karuan.
“Sst.. Ce.. Pat.. Ndi.. Masukin.. Mbak udah nggak tahan nich”
“Ben.. Tar.. Mbak.. pakai kondom dulu” kata saya sambil membuka celana saya seluruhnya dan memakai kondom, kemudian
dengan dituntun tangan Mbak Susi yang halus akhirnya bles.. Mmh masuk semua dech ****** saya yang katanya bengkok itu.
“Terr.. Us.. Dor.. Ong.. Teruss.. Sst”
“Cep.. Epet.. Ya.. Gitu.. Ahh..” Celoteh dan rintihan Mbak Susi akibat sodokan demi sodokan yang masukkan dalam-dalam,
mmh nikmat rasanya dan akhirnya kami sama-sama nggak kuat, sambil berpelukan dengan erat.. Crot.. Crot.. Keluarlah lahar
putih itu bersamaan.
“Terima kasih ya Mbak Susi”
“Sama-sama ndi, kapan-kapan lagi ya” jawab Mbak Susi tersenyum puas.
Dan kami pun pulang, disambut Tante Anna tanpa curiga. Aduh Tante saya yang satu ini cantik sekali, kapan ya saya bisa
******* sama dia, abis cantik sich en’ seksi. Kesempatan itu datang malam ini..
“Gimana Sus tadi”
“Puas dech dianterin si Andi”
“Siapa dulu dong Tantenya”
“Rat, tidur duluan ya”
“Iya sus, saya juga mau tidur”
“Ndi terima kasih ya udah nganterin Mbak Susi tadi”
“Biasa aja kok Mbak, yang penting puas khan?” jawab saya mengedipkan mata pada Mbak Susi.
“Ndi, Tante tidur di kamarmu ya”
“Kenapa Tante, apa kamar tamunya ndak cukup berdua ama Mbak Susi?”
“Bukan begitu, di kamar tamu tuch panas, kali aja di kamarmu lebih adem”
“Terserah Tante dech” jawab saya sekenanya.
“Tante duluan tidur ya Ndi”
“Iya Tante, Andi lagi nungguin acara bagus nich”
Tante Anna lalu pergi tidur dengan daster kuningnya yang kependekan itu. Satu setengah jam kemudian saya menyusul ke
kamar untuk pergi tidur juga dan wow.. Tante Anna tidur dengan memeluk guling, tapi yang membuat ****** saya tegak
adalah daster kuningnya menyingkapkan paha kanannya yang putih bersih serta sedikit memperlihatkan CD-nya yang berwarna
putih itu.. Mmh sungguh pemandangan yang indah pembaca.
Saya dengan perlahan membuka pakaian dan celana pendek, tinggal CD saja, ini baru kesempatan namanya. Saya tidur dengan
posisi membelakangi Tante Anna dan dengan perlahan membuka daster bawahnya sampai sebatas pinggang dan sekarang dengan
jelas kelihatan CD-nya berwarna putih selaras dengan pantatnya yang putih, pelan sekali saya tempelkan ****** saya ke
pantat Tante Anna dan serr.. Rasanya halus dan wangi tubuhnya pun harum. Mmh enak sekali, sambil tangan kanan saya
linkarkan ke perutnya. Tidak ada reaksi sama sekali tapi tiba-tiba saja tangannya memegang tangan saya sambil bergumam..
“Mm..”
Saya sampai kaget, tapi cuma sesaat dan kaki kanan saya masukkan di antara kaki Tante Anna. Beberapa saat dalam kondisi
tersebu, perlahan saya lanjutkan dengan tangan kanan saya yang tadinya di perut sekarang merayap perlahan ke arah dalam
daster dan ternyata Tante Anna tidur tidak memakai BH. Payudaranya akhirnya tersentuh juga dan saya usap dengan perlahan
sekali takut Tante Anna bangun. Khan malu sekali jadinya, tapi sudah kadung nafsu, saya terusin aja, paling dimarahin.
****** kugesek-gesekkan seiring intensitas tangan saya yang sekarang bukan saja mengusap tapi meremas-remas. Lagi
asyik-asyiknya melakukan kegiatan mepet-mepetan, tiba-tiba Tante Anna tersadar juga.
“Oh.. Siapa ini..” ujarnya sambil mengibaskan tangan saya.
“Sst.. Andi.. Tante..” guman saya, antara takut dan bingung.
“Maaf.. Tante.. Andi.. Khilaf” kata saya akan beranjak keluar.
“Tunggu Ndi” tahan Tante Anna.
“Sebetulnya Tante nggak marah kok, cuma kaget aja, tak kirain siapa”
“Sekali lagi maaf Tante, tapi jangan laporan ibu ya”
“Kamu nakal ya, cuma ada syaratnya lho supaya nggak dilaporin”
“Apa Tante, pokoknya tak lunasin dech” jawab saya bingung dan takut.
“Kamu kunci kamar ini dan temenin Tante tidur malam terakhir ini, gimana?”
Wah bukan main senangnya saya dan cepat-cepat saya kunci pintu dan wow Tante Anna sudah membuka daster, tinggal CD
putihnya saja.
“Lho, kok bengong sini bobo”
“I.. Ya..”
Antara kagum dan nafsu jadi satu dech, melihat pemandangan yang bagus ini. Dan Tante Anna menarik CD saya hingga lepas.
“Wah.. Kontolmu bengkok ya” puji Tante Anna sambil menindih saya.
Lalu kami pun berciuman dengan lembut dan makin lama ciuman itu berubah menjadi saling jilat. Tangan saya bergerilya
meremas-remas kedua payudaranya dan Tante Annapun meremas dan menarik-narik ****** saya.
“Ndi.. Emut.. Su.. Su Tante.. Ya” tersengal-sengal Tante Anna mengarahkan kepala saya pada payudaranya.
Payudaranya yang putih saya emut, jilat dan gigit dengan perlahan sampai Tante Anna merintih-rintih, sementara tangan
kanan saya ikut masuk dalam CD-nya dan mengusap-usap vagina Tante Anna yang mulai basah.
“Terr.. Us.. Ndi.. Yang.. Baw.. Ah”
Saya teruskan, celana dalam putih itu saya tarik dan tampaklah vagina yang ditumbuhi bulu halus muncul, saya jilat,
cairan putih semakin banyak, slrup.. Slrup.. Slrup begitu bunyinya saya hisap sampai kepala saya terjepit kaki Tante
Anna yang udah mulai orgasme pertama.
“Ndi.. Ganti.. Po.. Sisi ya?” tanya Tante tersengal-sengal sambil mengarahkan mulutnya ke ****** saya hingga posisi kami
bergaya 69.
Tante Anna betul-betul mahir mengulum dan menghisap sampai-sampai ****** saya gerakkan perlahan ke atas ke bawah seiring
kulumannya dan saya pun tak kalah gesit menjilat dan menghisap cairan putih yang semakin banyak dari Tante Anna.
“Gan.. Tian.. Tante di atas”
Lalu kami pun berubah posisi dengan saya di bawah dan Tante Anna di atas, sambil sedikit berjongkok Tante Anna
membimbing ****** saya masuk vaginanya dan bless.. Cleep.. Cleep.. Cleep.. Begitu bunyinya akibat goyangan pantatnya
yang semok dan sodokan ****** saya sampai-sampai buah zakar saya mepet dengan vaginanya.
“Sst.. Terr.. Ss.. Pegang.. Su.. Su.. Tante.. Ndi.. Sst”
“I.. Ya.. Tante.. Mmh..”
“Nnach.. Gitu.. Rem.. As.. Yaa..” Rintih Tante Anna karena kedua payudaranya saya remas dan kedua putingnya saya
pelintir-pelintir.
Keringat Tante Anna sudah mulai menetes bersamaan dengan keringat saya, sudah 15 menit kami melakukan sodokan dan
goyangan yang hebat sampai ranjang itu berderit-derit menahan goyangan kami yang begitu liar seperti pengantin baru.
“Tan.. Andi.. Mau.. Kel.. Uar.. Nich”
“Ben.. Tar.. Ndi.. Sst.. Sst.. Samaan.. Kelua.. Rrnya ya” perintah Tante pada saya yang sudah mau bobol saja rasanya dan
kami pun mempercepat sodokan dan goyangan.. Cleep.. Cleep.. Cleep.. Dan akhirnya..
“Sst.. Ce.. Pat.. Ndi.. Aakh..” Tante Anna memeluk saya sambil menggoyang-goyang pantatnya semakin cepat, jeritaannya
bersamaan dengan semprotan saya dan Tante, croot, croot muncratlah air mani itu dalam vagina Tante.
Tante Anna memeluk saya lemas dan kami pun berpelukan dalam keadaan bugil menikmati sensasi tersebut, saya dan Tante
Anna bergumul sampai 3 kali malam itu.
“Terima kasih ya ndi, udah lama Tante nggak ******* kayak begini”
“Sama-sama Tante, Andi juga puas kok, kapan-kapan kalo Tante ke sini kita ******* lagi ya”
“Beres, pokoknya ini rahasia kita berdua, OK!” jawab Tante Anna sambil mencium saya dengan lembut dan memberikan saya
amplop.
“Apaan ini Tante”
“Oh, uang jajan dari Tante dan Susi buat kamu”
“Terima kasih banyak lho Tante” jawab saya senang, sudah dapat ******* en’ dapet uang lagi yang besarnya kira-kira
Rp,-3.400.000,-. Lumayan lho pembaca untuk tour guide seperti saya yang nganterin Tante saya yang biseks bersama
temannya selama lima hari.

bu eni

Aku dilahirkan di kota M di propinsi Jawa Timur, kota yang panas karena terletak di dataran rendah. Selain tinggi badan seukuran orang-orang bule, kata temanku wajahku lumayan. Mereka bilang aku hitam manis. Sebagai laki-laki, aku juga bangga karena waktu SMA dulu aku banyak memiliki teman-teman perempuan. Walaupun aku sendiri tidak ada yang tertarik satupun di antara mereka. Mengenang saat-saat dulu aku kadang tersenyum sendiri, karena walau bagaimanapun kenangan adalah sesuatu yang berharga dalam diri kita. Apalagi kenangan manis.
Sekarang aku belajar di salah satu perguruan tinggi swasta di kota S, mengambil jurusan ilmu perhotelan. Aku duduk di tingkat akhir. Sebelum berangkat dulu, orangtuaku berpesan harus dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Maklum, keadaan ekonomi orangtuaku juga biasa-biasa saja, tidak kaya juga tidak miskin. Apalagi aku juga memiliki 3 orang adik yang nantinya juga akan kuliah seperti aku, sehingga perlu biaya juga. Aku camkan kata-kata orangtuaku. Dalam hati aku akan berjanji akan memenuhi permintaan mereka, selesai tepat pada waktunya.
Tapi para pembaca, sudah kutulis di atas bahwa segala sesuatu yang terjadi padaku tanpa aku dapat menyadarinya, sampai saat ini pun aku masih belum dapat menyelesaikan studiku hanya gara-gara satu mata kuliah saja yang belum lulus, yaitu mata kuliah yang berhubugan dengan hitung berhitung. Walaupun sudah kuambil selama empat semester, tapi hasilnya belum lulus juga. Untuk mata kuliah yang lain aku dapat menyelesaikannya, tapi untuk mata kuliah yang satu ini aku benar-benar merasa kesulitan.
“Coba saja kamu konsultasi kepada dosen pembimbing akademis..,” kata temanku Andi ketika kami berdua sedang duduk-duduk dalam kamar kost.
“Sudah, Di. Tapi beliau juga lepas tangan dengan masalahku ini. Kata beliau ini ditentukan oleh dirimu sendiri.” kataku sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Benar juga apa yang dikatakan beliau, Gi, semua ditentukan dari dirimu sendiri.” sahut Andi sambil termangu, tangannya sibuk memainkan korek api di depannya.
Lama kami sibuk tenggelam dalam pikiran kami masing-masing, sampai akhirnya Andi berkata, “Gini saja, Gi, kamu langsung saja menghadap dosen mata kuliah itu, ceritakan kesulitanmu, mungkin beliau mau membantu.” kata Andi.

Mendengar perkataan Andi, seketika aku langsung teringat dengan dosen mata kuliah yang menyebalkan itu. Namanya Ibu Eni, umurnya kira-kira 35 tahun. Orangnya lumayan cantik, juga seksi, tapi banyak temanku begitu juga aku mengatakan Ibu Eni adalah dosen killer, banyak temanku yang dibuat sebal olehnya. Maklum saja Ibu Eni belum berkeluarga alias masih sendiri, perempuan yang masih sendiri mudah tersinggung dan sensitif.
“Waduh, Di, bagaimana bisa, dia dosen killer di kampus kita..,” kataku bimbang.
“Iya sih, tapi walau bagaimanapun kamu harus berterus terang mengenai kesulitanmu, bicaralah baik-baik, masa beliau tidak mau membantu..,” kata Andi memberi saran.
Aku terdiam sejenak, berbagai pertimbangan muncul di kepalaku. Dikejar-kejar waktu, pesan orang tua, dosen wanita yang killer.
Akhirnya aku berkata, “Baiklah Di, akan kucoba, besok aku akan menghadap beliau di kampus.”
“Nah begitu dong, segala sesuatu harus dicoba dulu,” sahut Andi sambil menepuk-nepuk pundakku.
Siang itu aku sudah duduk di kantin kampus dengan segelas es teh di depanku dan sebatang rokok yang menyala di tanganku. Sebelum bertemu Ibu Eni aku sengaja bersantai dulu, karena bagaimanapun nanti aku akan gugup menghadapinya, aku akan menenangkan diri dulu beberapa saat. Tanpa aku sadari, tiba-tiba Andi sudah berdiri di belakangku sambil menepuk pundakku, sesaat aku kaget dibuatnya.
“Ayo Gi, sekarang waktunya. Bu Eni kulihat tadi sedang menuju ke ruangannya, mumpung sekarang tidak mengajar, temuilah beliau..!” bisik Andi di telingaku.
“Oke-oke..,” kataku singkat sambil berdiri, menghabiskan sisa es teh terakhir, kubuang rokok yang tersisa sedikit, kuambil permen dalam saku, kutarik dalam-dalam nafasku.
Aku langsung melangkahkan kaki.
“Kalau begitu aku duluan ya, Gi. Sampai ketemu di kost,” sahut Andi sambil meninggalkanku.
Aku hanya dapat melambaikan tangan saja, karena pikiranku masih berkecamuk bimbang, bagaimana aku harus menghadapai Ibu Eni, dosen killer yang masih sendiri itu.
Perlahan aku berjalan menyusupi lorong kampus, suasana sangat lengang saat itu, maklum hari Sabtu, banyak mahasiswa yang meliburkan diri, lagipula kalau saja aku tidak mengalami masalah ini lebih baik aku tidur-tiduran saja di kamar kost, ngobrol dengan teman. Hanya karena masalah ini aku harus bersusah-susah menemui Bu Eni, untuk dapat membantuku dalam masalah ini.
Kulihat pintu di ujung lorong. Memang ruangan Bu Eni terletak di pojok ruangan, sehingga tidak ada orang lewat simpang siur di depan ruangannya. Kelihatan sekali keadaan yang sepi.
Pikirku, “Mungkin saja perempuan yang belum bersuami inginnya menyendiri saja.”
Perlahan-lahan kuketuk pintu, sesaat kemudian terdengar suara dari dalam, “Masuk..!”
Aku langsung masuk, kulihat Bu Eni sedang duduk di belakang mejanya sambil membuka-buka map. Kutup pintu pelan-pelan. Kulihat Bu Eni memandangku sambil tersenyum, sesaat aku tidak menyangka beliau tersenyum ramah padaku. Sedikit demi sedikit aku mulai dapat merasa tenang, walaupun masih ada sedikit rasa gugup di hatiku.
“Silakan duduk, apa yang bisa Ibu bantu..?” Bu Eni langsung mempersilakan aku duduk, sesaat aku terpesona oleh kecantikannya.
Bagaimana mungkin dosen yang begitu cantik dan anggun mendapat julukan dosen killer. Kutarik kursi pelan-pelan, kemudian aku duduk.
“Oke, Yogi, ada apa ke sini, ada yang bisa Ibu bantu..?” sekali lagi Bu Eni menanyakan hal itu kepadaku dengan senyumnya yang masih mengembang.
Perlahan-lahan kuceritakan masalahku kepada Bu Eni, mulai dari keinginan orangtua yang ingin aku agak cepat menyelesaikan studiku, sampai ke mata kuliah yang saat ini aku belum dapat menyelesaikannya.
Kulihat Bu Eni dengan tekun mendengarkan ceritaku sambil sesekali tersenyum kepadaku. Melihat keadaan yang demikian aku bertambah semangat bercerita, sampai pada akhirnya dengan spontan aku berkata, “Apa saja akan kulakukan Bu Eni, untuk dapat menyelesaikan mata kuliah ini. Mungkin suatu saat membantu Ibu membersihkan rumah, contohnya mencuci piring, mengepel, atau yah, katakanlah mencuci baju pun aku akan melakukannya demi agar mata kuliah ini dapat saya selesaikan. Saya mohon sekali, berikanlah keringanan nilai mata kuliah Ibu pada saya.”
Mendengar kejujuran dan perkataanku yang polos itu, kulihat Bu Eni tertawa kecil sambil berdiri menghampiriku, tawa kecil yang kelihatan misterius, dimana aku tidak dapat mengerti apa maksudnya.
“Apa saja Yogi..?” kata Bu Eni seakan menegaskan perkataanku tadi yang secara spontan keluar dari mulutku tadi dengan nada bertanya.
“Apa saja Bu..!” kutegaskan sekali lagi perkataanku dengan spontan.
Sesaat kemudian tanpa kusadari Bu Eni sudah berdiri di belakangku, ketika itu aku masih duduk di kursi sambil termenung. Sejenak Bu Eni memegang pundakku sambil berbisik di telingaku.
“Apa saja kan Yogi..?”
Aku mengangguk sambil menunduk, saat itu aku belum menyadari apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja dari arah belakang, Bu Eni sudah menghujani pipiku dengan ciuman-ciuman lembut, sebelum sempat aku tersadar apa yang akan terjadi. Bu Eni tiba-tiba saja sudah duduk di pangkuanku, merangkul kepalaku, kemudian melumatkan bibirnya ke bibirku. Saat itu aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, seketika kedua tangan Bu Eni memegang kedua tanganku, lalu meremas-remaskan ke payudaranya yang sudah mulai mengencang.
Aku tersadar, kulepaskan mulutku dari mulutnya.
“Bu, haruskah kita..”
Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, telunjuk Bu Eni sudah menempel di bibirku, seakan menyuruhku untuk diam.
“Sudahlah Yogi, inilah yang Ibu inginkan..”
Setelah berkata begitu, kembali Bu Eni melumat bibirku dengan lembut, sambil membimbing kedua tanganku untuk tetap meremas-remas payudaranya yang montok karena sudah mengencang.
Akhirnya timbul hasrat kelelakianku yang normal, seakan terhipnotis oleh reaksi Bu Eni yang menggairahkan dan ucapannya yang begitu pasrah, kami berdua tenggelam dalam hasrat seks yang sangat menggebu-gebu dan panas. Aku membalas melumat bibirnya yang indah merekah sambil kedua tanganku terus meremas-remas kedua payudaranya yang masih tertutup oleh baju itu tanpa harus dibimbing lagi. Tangan Bu Eni turun ke bawah perutku, kemudian mengusap-usap kemaluanku yang sudah mengencang hebat. Dilanjutkan kemudian satu-persatu kancing-kancing bajuku dibuka oleh Bu Eni, secara reflek pula aku mulai membuka satu-persatu kancing baju Bu Eni sambil terus bibirku melumat bibirnya.
Setelah dapat membuka bajunya, begitu pula dengan bajuku yang sudah terlepas, gairah kami semakin memuncak, kulihat kedua payudara Bu Eni yang memakai BH itu mengencang, payudaranya menyembul indah di antara BH-nya. Kuciumi kedua payudara itu, kulumat belahannya, payudara yang putih dan indah. Kudengar suara Bu Eni yang mendesah-desah merasakan kenikmatan yang kuberikan. Kedua tangan Bu Eni mengelus-elus dadaku yang bidang. Lama aku menciumi dan melumat kedua payudaranya dengan kedua tanganku yang sesekali meremas-remas dan mengusap-usap payudara dan perutnya.
Akhirnya kuraba tali pengait BH di punggungnya, kulepaskan kancingnya, setelah lepas kubuang BH ke samping. Saat itu aku benar-benar dapat melihat dengan utuh kedua payudara yang mulus, putih dan mengencang hebat, menonjol serasi di dadanya. Kulumat putingnya dengan mulutku sambil tanganku meremas-remas payudaranya yang lain. Puting yang menonjol indah itu kukulum dengan penuh gairah, terdengar desahan nafas Bu Eni yang semakin menggebu-gebu.
“Oh.., oh.., Yogi.. teruskan.., teruskan Yogi..!” desah Bu Eni dengan pasrah dan memelas.
Melihat kondisi seperti itu, kejantananku semakin memuncak. Dengan penuh gairah yang mengebu-gebu, kedua puting Bu Eni kukulum bergantian sambil kedua tanganku mengusap-usap punggungnya, kedua puting yang menonjol tepat di wajahku. Payudara yang mengencang keras.
Lama aku melakukannya, sampai akhirnya sambil berbisik Bu Eni berkata, “Angkat aku ke atas meja Yogi.., ayo angkat aku..!”
Spontan kubopong tubuh Bu Eni ke arah meja, kududukkan, kemudian dengan reflek aku menyingkirkan barang-barang di atas meja. Map, buku, pulpen, kertas-kertas, semua kujatuhkan ke lantai dengan cepat, untung lantainya memakai karpet, sehingga suara yang ditimbulkan tidak terlalu keras.
Masih dalam keadaan duduk di atas meja dan aku berdiri di depannya, tangan Bu Eni langsung meraba sabukku, membuka pengaitnya, kemudian membuka celanaku dan menjatuhkannya ke bawah. Serta-merta aku segera membuka celana dalamku, dan melemparkannya ke samping.
Kulihat Bu Eni tersenyum dan berkata lirih, “Oh.. Yogi.., betapa jantannya kamu.. kemaluanmu begitu panjang dan besar.. Oh.. Yogi, aku sudah tak tahan lagi untuk merasakannya.”
Aku tersenyum juga, kuperhatikan tubuh Bu Eni yang setengah telanjang itu.
Kemudian sambil kurebahkan tubuhnya di atas meja dengan posisi aku berdiri di antara kedua pahanya yang telentang dengan rok yang tersibak sehingga kelihatan pahanya yang putih mulus, kuciumi payudaranya, kulumat putingnya dengan penuh gairah, sambil tanganku bergerilya di antara pahanya. Aku memang menginginkan pemanasan ini agak lama, kurasakan tubuh kami yang berkeringat karena gairah yang timbul di antara aku dan Bu Eni. Kutelusuri tubuh Bu Eni yang setengah telanjang dan telentang itu mulai dari perut, kemudian kedua payudaranya yang montok, lalu leher. Kudengar desahan-desahan dan rintihan-rintihan pasrah dari mulut Bu Eni.
Sampai ketika Bu Eni menyuruhku untuk membuka roknya, perlahan-lahan kubuka kancing pengait rok Bu Eni, kubuka restletingnya, kemudian kuturunkan roknya, lalu kujatuhkan ke bawah. Setelah itu kubuka dan kuturunkan juga celana dalamnya. Seketika hasrat kelelakianku semakin menggebu-gebu demi melihat tubuh Bu Eni yang sudah telanjang bulat, tubuh yang indah dan seksi, dengan gundukan daging di antara pahanya yang ditutupi oleh rambut yang begitu rimbun.
Terdengar Bu Eni berkata pasrah, “Ayolah Yogi.., apa yang kau tunggu..? Ibu sudah tak tahan lagi.”
Kurasakan tangan Bu Eni menggenggam kemaluanku, menariknya untuk lebih mendekat di antara pahanya. Aku mengikuti kemauan Bu Eni yang sudah memuncak itu, perlahan tapi pasti kumasukkan kemaluanku yang sudah mengencang keras layaknya milik kuda perkasa itu ke dalam vagina Bu Eni. Kurasakan milik Bu Eni yang masih agak sempit. Akhirnya setelah sedikit bersusah payah, seluruh batang kemaluanku amblas ke dalam vagina Bu Eni.
Terdengar Bu Eni merintih dan mendesah, “Oh.., oh.., Yogi.. terus Yogi.. jangan lepaskan Yogi.. aku mohon..!”
Tanpa pikir panjang lagi disertai hasratku yang sudah menggebu-gebu, kugerakkan kedua pantatku maju-mundur dengan posisi Bu Eni yang telentang di atas meja dan aku berdiri di antara kedua pahanya.
Mula-mula teratur, seirama dengan goyangan-goyangan pantat Bu Eni. Sering kudengar rintihan-rintihan dan desahan Bu Eni karena menahan kenikmatan yang amat sangat. Begitu juga aku, kuciumi dan kulumat kedua payudara Bu Eni dengan mulutku.
Kurasakan kedua tangan Bu Eni meremas-remas rambutku sambil sesekali merintih, “Oh.. Yogi.. oh.. Yogi.. jangan lepaskan Yogi, kumohon..!”
Mendengar rintihan Bu Eni, gairahku semakin memuncak, goyanganku bertambah ganas, kugerakkan kedua pantatku maju-mundur semakin cepat.
Terdengar lagi suara Bu Eni merintih, “Oh.. Yogi.. kamu memang perkasa.., kau memang jantan.. Yogi.. aku mulai keluar.. oh..!”
“Ayolah Bu.., ayolah kita mencapai puncak bersama-sama, aku juga sudah tak tahan lagi,” keluhku.
Setelah berkata begitu, kurasakan tubuhku dan tubuh Bu Eni mengejang, seakan-akan terbang ke langit tujuh, kurasakan cairan kenikmatan yang keluar dari kemaluanku, semakin kurapatkan kemaluanku ke vagina Bu Eni. Terdengar keluhan dan rintihan panjang dari mulut Bu Eni, kurasakan juga dadaku digigit oleh Bu Eni, seakan-akan nmenahan kenikmatan yang amat sangat.
“Oh.. Yogi.. oh.. oh.. oh..”
Setelah kukeluarkan cairan dari kemaluanku ke dalam vagina Bu Eni, kurasakan tubuhku yang sangat kelelahan, kutelungkupkan badanku di atas badan Bu Eni dengan masih dalam keadan telanjang, agak lama aku telungkup di atasnya.
Setelah kurasakan kelelahanku mulai berkurang, aku langsung bangkit dan berkata, “Bu, apakah yang sudah kita lakukan tadi..?”
Kembali Bu Eni memotong pembicaraanku, “Sudahlah Yogi, yang tadi itu biarlah terjadi karena kita sama-sama menginginkannya, sekarang pulanglah dan ini alamat Ibu, Ibu ingin cerita banyak kepadamu, kamu mau kan..?”
Setelah berkata begitu, Bu Eni langsung menyodorkan kartu namanya kepadaku. Kuterima kartu nama yang berisi alamat itu.
Sejenak kutermangu, kembali aku dikagetkan oleh suara Bu Eni, “Yogi, pulanglah, pakai kembali pakaianmu..!”
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mengenakan pakaianku, kemudian membuka pintu dan keluar ruangan. Dengan gontai aku berjalan keluar kampus sambil pikiranku berkecamuk dengan kejadian yang baru saja terjadi antara aku dengan Bu Eni. Aku telah bermain cinta dengan dosen killer itu. Bagaimana itu bisa terjadi, semua itu diluar kehendakku. Akhirnya walau bagaimanapun nanti malam aku harus ke rumah Bu Eni.
Kudapati rumah itu begitu kecil tapi asri dengan tanaman dan bunga di halaman depan yang tertata rapi, serasi sekali keadannya. Langsung kupencet bel di pintu, tidak lama kemudian Bu Eni sendiri yang membukakan pintu, kulihat Bu Eni tersenyum dan mempersilakan aku masuk ke dalam. Kuketahui ternyata Bu Eni hidup sendirian di rumah ini. Setelah duduk, kemudian kami pun mengobrol. Setelah sekian lama mengobrol, akhirnya kuketahui bahwa Bu Eni selama ini banyak dikecewakan oleh laki-laki yang dicintainya. Semua laki-laki itu hanya menginginkan tubuhnya saja bukan cintanya. Setelah bosan, laki-laki itu meninggalkan Bu Eni. Lalu dengan jujur pula dia memintaku selama masih menyelesaikan studi, aku dimintanya untuk menjadi teman sekaligus kekasihnya. Akhirnya aku mulai menyadari bahwa posisiku tidak beda dengan gigolo.
Kudengar Bu Eni berkata, “Selama kamu masih belum wisuda, tetaplah menjadi teman dan kekasih Ibu. Apa pun permintaanmu kupenuhi, uang, nilai mata kuliahmu agar lulus, semua akan Ibu penuhi, mengerti kan Yogi..?”
Selain melihat kesendirian Bu Eni tanpa ada laki-laki yang dapat memuaskan hasratnya, aku pun juga mempertimbangkan kelulusan nilai mata kuliahku. Akhirnya aku pun bersedia menerima tawarannya.
Akhirnya malam itu juga aku dan Bu Eni kembali melakukan apa yang kami lakukan siang tadi di ruangan Bu Eni, di kampus. Tetapi bedanya kali ini aku tidak canggung lagi melayani Bu Eni dalam bercinta. Kami bercinta dengan hebat malam itu, 3 kali semalam, kulihat senyum kepuasan di wajah Bu Eni. Walau bagaimanapun dan entah sampai kapan, aku akan selalu melayani hasrat seksualnya yang berlebihan, karena memang ada jaminan mengenai kelulusan mata kuliahku yang tidak lulus-lulus itu dari dulu

tante sofi

Aku mengenal seks pada usia 18 tahun ketika masih SMA. Waktu itu, karena niatku yang ingin melanjutkan sekolah di Jakarta, aku dititipkan pada keluarga teman baik ayahku, seorang pensiunan perwira ABRI berpangkat Brigjen. Om Toto, begitu aku memanggilnya, adalah seorang purnawirawan ABRI yang cukup berpengaruh, kini ia mengelola perusahaan sendiri yang lumayan besar. Anak-anak mereka, Halmi dan Julia yang seusiaku kini ada di Amerika sejak mereka masih berumur 12 tahun. Sedangkan yang sulung, Sonny kuliah di Jogja. Istri Om Toto sendiri adalah seorang pengusaha sukses di bidang export garmen, aku memanggilnya Tante Sofi, wanita berwajah manis berumur 43 tahun dengan perawakan yang bongsor dan seksi khas ibu-ibu istri pejabat. Sejak tinggal di rumah megah itu aku seringkali ditugasi mengantar Tante Sofi, meski ada dua sopir pribadi tapi Tante Sofi lebih senang kalau aku yang mengemudikan mobilnya. Lebih aman, katanya sekali waktu.
Meski keluarga Om Toto kaya raya, tampaknya hubungan antara dia dan istrinya tak begitu harmonis. Aku sering mendengar pertengkaran-pertengkaran diantara mereka di dalam kamar tidur Om Toto, seringkali saat aku menonton televisi terdengar teriakan mereka dari ruang tengah. Sedikitpun aku tak mau peduli atas hal itu, toh ini bukan urusanku, lagi pula aku kan bukan anggota keluarga mereka. Biasanya mereka bertengkar malam hari saat keduanya sama-sama baru pulang kerja. Belakangan bahkan terdengar kabar kalau Om Toto punya beberapa wanita simpanan. “Ah untuk apa memikirkannya” benakku.
Suatu hari di bulan Oktober, Bi Surti, Siti (para pembantu), Mang Darja dan Om Edi (supir), pulang kampung mengambil jatah liburan mereka bersamaan saat Lebaran. Sementara Om Toto dan Sonny pergi berlibur ke Amrik sambil menjenguk kedua anaknya di sana. Tante Sofi masih sibuk menangani bisnisnya yang sedang naik daun, ia lebih sering tidak pulang, hingga di rumah itu tinggal aku sendiri. Perasaanku begitu merdeka, tak ada yang mengawasi atau melarangku untuk berbuat apa saja di rumah besar dan mewah itu. Mereka memintaku menunda jadwal pulang kampung yang sudah jauh hari kurencanakan, aku mengiyakan saja, toh mereka semua baik dan ramah padaku.
Malamnya aku duduk di depan televisi, namun tak satupun acara TV itu menarik perhatianku. Aku termenung sejenak memikirkan apa yang akan kuperbuat, sudah tiga hari tiga malam sejak keberangkatan Om Toto, Tante Sofi tak tampak pulang ke rumah. Maklumlah bisnisnya level tingkat internasional, jadi tak heran kalau mungkin saja hari ini ia ada di Hongkong, Singapore atau di mana saja. Saat sedang melamun aku melirik ke arah lemari besar di samping pesawat TV layar super lebar itu. Mataku tertuju pada rak piringan VCD yang ada di sana. Segera kubuka sambil memilih film-film bagus. Namun yang paling membuat aku menelan ludah adalah sebuah flm dengan cover depan wanita telanjang. Tak kulihat pasti judulnya namun langsung kupasang dan…, “wow!” batinku kegirangan begitu melihat adegannya yang wah. Seorang lelaki berwajah hispanik sedang menggauli dua perempuan sekaligus dengan beragam gaya.

Sesaat kemudian aku sudah larut dalam film itu. Penisku sudah sejak tadi mengeras seperti batu, malah saking kerasnya terasa sakit, aku sejenak melepas celana panjang dan celana dalam yang kukenakan dan menggantinya dengan celana pendek yang longgar tanpa CD. Aku duduk di sofa panjang depan TV dan kembali menikmati adegan demi adegan yang semakin membuatku gila. Malah tanganku sendiri meremas-remas batang kemaluanku yang semakin tegang dan keras. Tampak penis besarku sampai menyembul ke atas melewati pinggang celana pendek yang kupakai. Cairan kentalpun sudah terasa mengalir dari sana.
Tapi belum lagi lima belas menit, karena terlalu asyik aku sampai tak menyangka Tante Sofi sudah berada di luar ruang depan sambil menekan bel. Ah, aku lupa menutup pintu gerbang depan hingga Tante Sofi bisa sampai di situ tanpa sepengetahuanku, untung pintu depan terkunci. Aku masih punya kesempatan mematikan power off VCD Player itu, dan tentunya sedikit mengatur nafas yang masih tegang ini agar sedikit lega.
“Kamu belum tidur, Di?”, sapanya begitu kubuka pintu depan.
“Belum, tante”, hidungku mencium bau khas parfum Tante Sofi yang elegan.
“Udah makan?”.
“Hmm…, belum sih, tante sudah makan?”, aku mencoba balik bertanya.
“Belum juga tuh, tapi tante barusan dari rumah teman, trus di jalan baru mikirin makan, so tante pesan dua paket antaran di KFC, kamu mau?”.
“Mau dong tante, tapi mana paketnya, belum datang kan?”.
“Tuh kan, kamu pasti lagi asyik di kamar makanya nggak dengerin kalau pengantar makanannya datang sedikit lebih awal dari tante”.
“ooo”, jawabku bego.
Tante Sofi berlalu masuk kamar, kuperhatikan ia dari belakang. Uhh, bodinya betul-betul bikin deg-degan, atau mungkin karena saya baru saja nonton BF yah?
Ayo, kita makan..”, ajaknya kemudian, tiba-tiba ia muncul dari kamarnya sudah berganti pakaian dengan sebuah daster putih longgar tanpa lengan dan berdada rendah.
“Ya ampun Tante Sofi”, batinku berteriak tak percaya, baru kali ini aku memperhatikan wanita itu. Kulitnya putih bersih, dengan betis yang woow, berbulu menantang pastilah punya nafsu seksual yang liar, itu kata temanku yang pengalaman seksnya tinggi. Buah dadanya tampak menyembul di balik gaun itu, apalagi saat ia melangkah di sampingku, samar-samar dari sudut mataku terlihat BH-nya yang putih.
“Uh.., apa ini gara-gara film itu?”, batinku lagi. Khayalku mulai kurang ajar, memasukkan bayangan Tante Sofi ke dalam adegan film tadi.
“Hmm..”, Tak sadar mulutku mengeluarkan suara itu.
“Ada apa, Di?”, Tante Sofi memandangku dengan alis berkerut.
“Nnggg…, nggak apa-apa tante..”, Aku jadi sedikit gugup. Oh wajahnya, kenapa baru sekarang aku melihatnya begitu cantik?
“Eh.., kamu ngelamun yah, ngelamunin siapa sih? Pacar?”, tanyanya.
“Nggak ah tante”, dadaku berdesir sesaat pandangan mataku tertuju pada belahan dadanya.
“My god, gimana rasanya kalau tanganku sampai mendarat di permukaan buah dadanya, mengelus, merasakan kelembutan payudara itu, ooohh”, lamunan itu terus merayap.
“Heh, ayo…, makanmu lho, Di”.
“Ba…, bbbbbaik tante”, jelas sekali aku tampak gugup.
“Nggak biasanya kamu kayak gini, Di. Mau cerita nggak sama tante”.
My god, dia mau aku ceritakan apa yang aku lamunkan? Susumu tante, susumu!
Pelan-pelan sambil terus melamun sesekali berbicara padanya, akhirnya makananku habis juga. Aku kembali ke kamar dan langsung menghempaskan badanku ke tempat tidur. Masih belum lepas juga bayangan tubuh Tante Sofi. “Gila! Gila! Kenapa perempuan paruh baya itu membuatku gila”, pikirku tak habis habisnya. Umurnya terpaut sangat jauh denganku, aku baru 18 tahun…, dua puluh lima tahun dibawahnya. Ah, mengapa harus kupikirkan.
Aku melangkah ke meja komputer di kamarku, mencoba melupakannya. Beberapa saat aku sudah tampak mulai tenang, perhatianku kini pada e-mail yang akan kukirim pada teman-teman netter. Aku memang hobi korespondensi via internet. Tapi mendadak pintu kamarku diketuk dari luar.
“Di.., Didi.., ini Tante”, terdengar suara tante seksi eh Sofi memanggil.
“Ah..”, aku beranjak bangun dari korsi itu dan membuka pintu, “Ada apa, tante?”.
“Kamu bisa buatin tante kopi?”.
“ooo.., bisa tante”.
“Tahu selera tante toh?
“Iya tante, biasanya juga saya lihat Siti”, jawabku singkat dan langsung menuju ke dapur.
“Tante tunggu di ruang tengah ya, Di”.
“Baik, tante”.
Gelas yang kupegang itu hampir saja jatuh saat kulihat apa yang sedang disaksikan Tante Sofi di layar TV. Pelan-pelan tanganku meletakkan gelas berisi kopi itu di sebuah meja kecil di samping Tante Sofi, lalu bersiap untuk pergi meninggalkannya.
“Didi..”
“Ya…, tante”.
“Kamu kalau habis pasang film seperti ini lain kali masukin lagi ke tempatnya yah”.
“mm…, ma…, ma…, maaf tante…” aku tergagap, apalagi melihat Tante Sofi yang berbicara tanpa melihat ke arahku. Benar-benar aku merasa seperti maling yang tertangkap basah.
“Di…”, Tante Sofi memanggil, kali ini ia memandangi, aku menundukkan muka, tak kubayangkan lagi kemolekan tubuh istri Om Toto itu. Aku benar-benar takut.
“Tante nggak bermaksud marah lho, di…”, byarrr hatiku lega lagi.
“Sekarang kalau kamu mau nonton, ya sudah sama-sama aja di sini, toh sudah waktunya kamu belajar tentang ini, biar nggak kuper”, ajaknya.
“Wooow…”, kepalaku secepat kilat kembali membayangkan tubuhnya. Aku duduk di sofa sebelah tempatnya. Mataku lebih sering melirik tubuh Tante Sofi daripada film itu.
“Kamu kan sudah 18 tahun, Di. Ya nggak ada salahnya kalau nonton beginian. Lagipula tante kan nggak biasa lho nonton yang beginian sendiri..”.
Apa kalimat itu berarti undangan? Atau kupingku yang salah dengar? Oh my god Tante Sofi mengangkat sebelah tangannya dan menyandarkan lengannya di sofa itu. Dari celah gaun di bawah ketiaknya terlihat jelas bukit payudaranya yang masih berlapis BH. Ukurannya benar-benar membuatku menelan ludah. Posisi duduknya berubah, kakinya disilangkan hingga daster itu sedikit tersingkap. Wooow, betis dengan bulu-bulu halus itu. Hmm, Wanita 40-an itu benar-benar menantang, wajah dan tubuhnya mirip sekali dengan pengusaha Dewi Motik, hanya Tante Sofi kelihatan sedikit lebih muda, bibirnya lebih sensual dan hidungnya lebih mancung. Aku tak mengerti kenapa perempuan paruhbaya ini begitu tampak mempesona di mataku. Tapi mungkinkah…? Tidak, dia adalah istri Om Toto, orang yang belakangan ini sangat memperhatikanku. Aku di sini untuk belajar…, atas biaya mereka.., ah persetan!
Tante Sofi mendadak mematikan VCD Player dan memindahkannya ke sebuah TV swasta.
“Lho… kok?”.
“Ah tante bosan ngeliatin itu terus, Di…”.
“Tapi kan..”.
“Sudah kalau mau kamu pasang aja sendiri di kamar..”, wajahnya masih biasa saja.
“Eh, ngomong-ngomong, kamu sudah hampir setahun di sini yah?”.
“Iya tante…”.
“Sudah punya pacar?”, ia beranjak meminum kopi yang kubuatkan untuknya.
“Belum”, mataku melirik ke arah belahan daster itu, tampaknya ada celah yang cukup untuk melihat payudara besarnya. Tak sadar penisku mulai berdiri.
“Kamu nggak nyari gitu?”, ia mulai melirik sesekali ke arahku sambil tersenyum.
“Alamaak, senyumnya.., oh singkapan daster bagian bawah itu, uh Tante Sofi.., pahamu”, teriak batinku saat tangannya tanpa sengaja menyingkap belahan gaun di bagian bawah itu. Sengaja atau tidak sih?
“Eeh Di.kamu ngeliatin apaan sih?”.
Blarrr…, mungkin ia tahu kalau aku sedang berkonsentrasi memandang satu persatu bagian tubuhnya, “Nngggak kok tante nggak ngeliat apa-apa”.
“Lho mata kamu kayaknya mandangin tante terus? Apa ada yang salah sama tante, Di?”, ya ampun dia tahu kalau aku sedang asyik memandanginya.
“Eh…, mm…, anu tante…, aa…, aanu…, tante…,tante”, kerongkonganku seperti tercekat.
“Anu apa…, ah kamu ini ada-ada saja, kenapa..”, matanya semakin terarah pada selangkanganku, ******* aku lupa pakai celana dalam. Pantas Tante Sofi tahu kalau penisku tegang.
“Ta…, ta…, tante cantik sekali..”, aku tak dapat lagi mengontrol kata-kataku. Dan astaga, bukannya marah, Tante Sofi malah mendekati aku.
“Apa…, tante nggak salah dengar?”, katanya setengah berbisik.
“Bener kok tante..”.
“Tante yang seumur ini kamu bilang cantik, ah bisa aja. Atau kamu mau sesuatu dari tante?” ia memegang pundakku, terasa begitu hangat dan duh gusti buah dada yang sejak tadi kuperhatihan itu kini hanya beberapa sentimeter saja dari wajahku. Apa aku akan dapat menyentuhnya, come on man! Dia istri Om Toto batinku berkata.
Tangannya masih berada di pundakku sebelah kiri, aku masih tak bergeming. Tertunduk malu tanpa bisa mengendalikan pikiranku yang berkecamuk. Harum semerbak parfumnya semakin menggoda nafsuku untuk berbuat sesuatu. Kuberanikan mataku melirik lebih jelas ke arah belahan kain daster berbunga itu. Wow…, sepintas kulihat bukit di selangkangannya yang ahh, kembali aku menelan ludah.
“Kamu belum jawab pertanyaan tante lho, Di. Atau kamu mau tante jawab sendiri pertanyaan ini?”.
“Nggak kok tante, sss.., sss…, saya jujur kalau tante memang cantik, eh.., mm…, menarik”.
“Kamu belum pernah kenal cewek yah”.
“Belum, tante”.
“Kalau tante kasih pelajaran gimana?”.
Ini dia yang aku tunggu, ah persetan dia istri Om Toto. Anggap saja ini pembalasan Tante Sofi padanya. Dan juga…, oh aku ingin segera merasakan tubuh wanita.
“Maksud tante…, apa?”, lanjutku bertanya, pandangan kami bertemu sejenak namun aku segera mengalihkan.
“Kamu kan belum pernah pacaran nih, gimana kalau kamu tante ajarin caranya nikmati wanita…”.
“Ta…, tapi tante”, aku masih ragu.
“Kamu takut sama Om Toto? Tenang…, yang ada di rumah ini cuman kita, lho”.
“This is excellent!”, teriakku dalam hati. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Batinku terus berteriak tapi badanku seperti tak dapat kugerakkan.
Beberapa saat kami berdua terdiam.
“Coba sini tangan kamu”, aku memberikan tanganku padanya, my goodness tangan lembut itu menyentuh telapak tanganku yang kasarnya minta ampun.
“Rupanya kamu memang belum pernah nyentuh perempuan, Di. Tante tahu kamu baru beranjak remaja dan tante ngerti tentang itu”, Berkata begitu sambil mengelus punggung tanganku, aku merinding dibuatnya, sementara di bawah, penisku yang sejak tadi sudah tegang itu mulai mengeluarkan cairan hingga menampakkan titik basah tepat di permukaan celana pendek itu.
“Tante ngerti kamu terangsang sama film itu. Tapi tante perhatiin belakangan ini kamu sering diam-diam memandangi tubuh tante, benar kan?”, ia seperti menyergapku dalam sebuah perangkap, tangannya terus mengelus punggung telapak tanganku. Aku benar-benar merasa seperti maling yang tertangkap basah, tak sepatah kata lagi yang bisa kuucapkan.
“Kamu kepingin pegang dada tante kan?”.
Daarrr! Dadaku seperti pecah…, mukaku mulai memerah. Aku sampai lupa di bawah sana adik kecilku mulai melembek turun. Dengan segala sisa tenaga aku beranikan diri membalas pandangannya, memaksa diriku mengikuti senyum Tante Sofi.Dan…, astaga…, Tante Sofi menuntun telapak tanganku ke arah payudaranya yang menggelembung besar itu.
“Ta…, ta…, tante…, ooohh”, suara itu keluar begitu saja, dan Tante Sofi hanya melihat tingkahku sambil tersenyum. Adikku bangun lagi dan langsung seperti ingin meloncat keluar dari celana dalamku. Istri Om Toto itu melotot ke arah selangkanganku.
“Waaww…, besar sekali punya kamu Di?”, serunya lalu secepat kilat tangannya menggenggam kemaluanku kemudian mengelus-elusnya. Secara reflek tanganku yang tadinya malu-malu dan terlebih dulu berada di permukaan buah dadanya bergerak meremas dengan sangat kuat sampai menimbulkan desah dari mulutnya.
“aahh…, mm remas sayang ooohh”.
Masih tak percaya akan semua itu, aku membalikkan badan ke arahnya dan mulai menggerakkan tangan kiriku. Aku semakin berani, kupandangi wajah istri Om Toto itu dengan seksama.
“Teruskan, Di…, buka baju tante”, permpuan itu mengangguk pelan. Matanya berbinar saat melihat kemaluanku tersembul dari celah celana pendek itu. Kancing dasternya kulepas satu persatu, bagian dadanya terbuka lebar. Masih dengan tangan gemetar aku meraih kedua buah dada yang berlapis BH putih itu. Perlahan-lahan aku mulai meremasnya dengan lembut, kedua telapak tanganku kususupkan melewati BH-nya.
“mm…, tante..”, aku menggumam merasakan kelembutan buah dada besar Tante Sofi yang selama sebulan terakhir ini hanya jadi impianku saja. Jari jemariku terasa begitu nyaman, membelai lembut daging kenyal itu, aku memilin puting susunya yang begitu lembutnya.
Akupun semakin berani, BH-nya kutarik ke atas dan wooww…, kedua buah dada itu membuat mataku benar-benar jelalatan.
“Mm…, kamu sudah mulai pintar, Di. Tante mau kamu ..”, Belum lagi kalimat Tante Sofi habis aku sudah mengarahkan mulutku ke puncak bukit kembarnya dan “cruppp…”, sedotanku langsung terdengar begitu bibirku mendarat di permukaan puting susunya.
“Aahh…, Didi, ooohh…, sedooot teruuus aahh”, tangannya semakin mengeraskan genggamannya pada batang penisku, celana pendek itu sejak tadi dipelorotnya ke bawah. Sesekali kulirik ke atas sambil terus menikmati puting buah dadanya satu persatu, Tante Sofi tampak tenang sambil tersenyum melihat tingkahku yang seperti monyet kecil menetek pada induknya. Jelas Tante Sofi sudah berpengalaman sekali. Batang penisku tak lagi hanya diremasnya, ia mulai mengocok-ngocoknya. Sebelah lagi tangannya menekan-nekan kepalaku ke arah dadanya.
“Buka pakaian dulu, Di” ia menarik baju kaos yang kukenakan, aku melepas gigitanku pada puting buah dadanya, lalu celanaku di lepaskannya. Ia sejenak berdiri dan melepas gaun dasternya, kini aku dapat melihat tubuh Tante Sofi yang bahenol itu dengan jelas. Buah dada besar itu bergelantungan sangat menantang. Dan bukit di antara kedua pangkal pahanya masih tertutup celana dalam putih, bulu-bulu halus tampak merambat keluar dari arah selangkangan itu. Dengan agresif tanganku menjamah CD-nya, langsung kutarik sampai lepas.
“Eeeiiit…, ponakan tante sudah mulai nakal yah”, katanya genit semakin membangkitkan nafsuku.
“Saya nggak tahan ngeliat tubuh tante”, dengusanku masih terdengar semakin keras.
“Kita lakukan di kamar yuk..”, ajaknya sambil menarik tanganku yang tadinya sudah mendarat di permukaan selangkangannya.
“Shitt!” makiku dalam hati, baru saja aku mau merasakan lembutnya bukit di selangkangannya yang mulai basah itu.
Tante Sofi langsung merebahkan badan di tempat tidur itu. Tapi mataku sejenak tertuju pada foto Om Toto dengan baju kehormatan militernya.
“Ta…, tapi tante”
“Tapi apa, ah kamu, Di” Tante Sofi melotot.
“Tante kan istri Om Toto”.
“Yang bilang tante istri kamu siapa?”, aku sedikit kendor mendengarnya.
“Saya takut tante, malu sama Om Toto”.
“Emangnya di sini ada kamera yang bisa dilihat dari LA? Didi, Didi.., Kamu nggak usah sebut nama ******* itu lagi deh!”, intonasi suaranya meninggi.
“Trus gimana dong tante?”, aku tambah tak mengerti.
“Sudahlah Di, kamu lakukan saja, kamu sudah lama kan menginginkan ini?” aku tak bisa menjawab, sementara mataku kembali memandang selangkangan Tante Sofi yang kini terbuka lebar. Hmm, persetan dari mana dia tahu aku sudah menantikan ini, itu urusan belakang.
Aku langsung menindihnya, dadaku menempel pada kedua buah payudara itu, kelembutan buah dada yang dulunya hanya ada dalam khayalan itu sekarang menempel ketat di dadaku. Bibir kamipun kini bertemu, Tante Sofi menyedot lidahku dengan lembut. Uhh, nikmatnya, tanganku menyusup di antara dada kami, meraba-raba dan meremas kedua belahan susunya yang besar itu.
“mm…, ooohh…, tante Sofi…, aahh”, kegelian bercampur nikmat saat Tante Sofi memadukan kecupannya di leherku sambil menggesekkan selangkangannya yang basah itu pada penisku.
“Kamu mau sedot susu tante lagi?”, tangannya meremas sendiri buah dada itu, aku tak menjawabnya, bibirku merayap ke arah dadanya, bertumpu pada tangan yang kutekuk sambil berusaha meraih susunya dengan bibirku. Lidahku mulai bekerja liar menjelajahi bukit kenyal itu senti demi senti.
“Hmm…, pintar kamu Di, ooohh..” Desahan Tante Sofi mulai terdengar, meski serak-serak tertahan nikmatnya jilatanku pada putingnya yang lancip.
“Sekarang kamu ke bawah lagi sayang..”.
Aku yang sudah terbawa nafsu berat itu menurut saja, lidahku merambat cepat ke arah pahanya, Tante Sofi membukanya lebar dan semerbak aroma selangkangannya semakin mengundang birahiku, aku jadi semakin gila. Kusibak bulu-bulu halus dan lebat yang menutupi daerah vaginanya. Uhh, liang vagina itu tampak sudah becek dan sepertinya berdenyut, aku ingat apa yang harus kulakukan, tak percuma aku sering diam-diam nonton VCD porno. Lidahku menjulur lalu menjilati vagina Tante Sofi.
“Ooouuuhh…, kamu cepat sekali belajar, Di. Hmm, enaknya jilatan lidah kamu…, ooohh ini sayang”, ia menunjuk sebuah daging yang mirip biji kacang di bagian atas kemaluannya, aku menyedotnya keras, lidah dan bibirku mengaduk-aduk isi liang vaginanya.
“ooohh, yaahh…, enaak, Di, pintar kamu Di…, ooohh”, Tante Sofi mulai menjerit kecil merasakan sedotanku pada biji kacang yang belakangan kutahu bernama clitoris.
Ada sekitar tujuh menit lebih aku bermain di daerah itu sampai kurasakan tiba-tiba ia menjepit kepalaku dengan keras di antara pangkal pahanya, aku hampir-hampir tak dapat bernafas.
“Aahh…, tante nggak kuaat aahh, Didiii”, teriaknya panjang seiring tubuhnya yang menegang, tangannya meremas sendiri kedua buah dadanya yang sejak tadi bergoyang-goyang, dari liang vaginanya mengucur cairan kental yang langsung bercampur air liur dalam mulutku.
“Uffff…, Di, kamu pintar bener. Sering nonton yah?” ia memandangku genit.
“Makasih Di, selama ini tante nggak pernah mengalaminya…, makasih sayang. Sekarang beri tante kesempatan istirahat sebentar saja”, ia lalu mengecupku dan beranjak ke arah kamar mandi.
Aku tak tahu harus melakukan apa, senjataku masih tegang dan keras, hanya sempat mendapat sentuhan tangan Tante Sofi. Batinku makin tak sabar ingin cepat menumpahkan air maniku ke dalam vaginanya. Masih jelas bayangan tubuh telanjang Tante Sofi beberapa menit yang lalu…., ahh aku meloncat bangun dan menuju ke kamar mandi. Kulihat Tante Sofi sedang mengguyur tubuhnya di bawah shower.
“Tante…”.
“Hmm, kamu sudah nggak sabar ya?” ia mengambil handuk dan mendekatiku. Tangannya langsung meraih batang penisku yang masih tegang.
“Woooww…, tante baru sadar kalau kamu punya segede ini, Di…, ooohhmm”, ia berjongkok di hadapanku. Aku menyandarkan tubuh di dinding kamar mandi itu dan secepat kilat Tante Sofi memasukkan penis itu ke mulutnya.
“Ohh…, nikmat Tante Sofi ooohh…, ooohh…, ahh”, geli bercampur nikmat membuatku seperti melayang. Baru kali ini punyaku masuk ke dalam alatnya perempuan, ternyata…, ahh…, lezatnya setengah mati. Penisku tampak semakin tegang, mulut mungil Tante Sofi hampir tak dapat lagi menampungnya. Sementara tanganku ikut bergerak meremas-remas payudaranya.
“uuuhh… punya kamu ini lho, Di…., tante jadi nafsu lagi nih, yuk kita lanjutin lagi”, tangannya menarikku kembali ke tempat tidur, Tante Sofi seperti melihat sesuatu yang begitu menakjubkan. Perempuan setengah baya itu langsung merebahkan diri dan membuka kedua pahanya ke arah berlawanan, mataku lagi-lagi melotot ke arah belahan vaginanya. mm…, kusempatkan menjilatinya semenit lalu dengan tergesa-gesa aku tindih tubuhnya.
“Heh…, sabar dong, Di. Kalau kamu gelagapan gini bisa cepat keluar nantinya”.
“Keluar apa, Tante?”.
“Nanti kamu tahu sendiri, deh” tangannya meraih penisku di antara pahanya, kakinya ditekuk hingga badanku terjepit diantaranya. Pelan sekali ibu jari dan telunjuknya menempelkan kepala penisku di bibir kemaluannya.
“Sekarang kamu tekan pelan-pelan sayang…, Ahhooowww, yang pelan sayang oh punya kamu segede kuda tahu!”, liriknya genit saat merasakan penisku yang baru setengah masuk itu.
“Begini tante?”, dengan hati-hati kugerakkan lagi, pelan sekali, rasanya seperti memasuki lubang yang sangat sempit.
“Tarik dulu sedikit, Di…, yah tekan lagi. Pelan-pelan…, yaahh masuk sayang ooohh besarnya punya kamu…, ooohh”.
“Tante suka?”.
“Suka sayang ooohh, sekarang kamu goyangin…, mm…, yak gitu terus tarik, aahh…, pelan sayang vagina tante rasanya…, ooouuuhh mau robek, mmhh…, yaahh tekan lagi sayang…, ooohh…, hhmm…, enaakkk…, ooohh”.
“Kalau sakit bilang saya yah tante?”, kusempatkan mengatur gerakan, tampaknya Tante Sofi sudah bisa menikmatinya, matanya memejam.
“Hmm…, ooohh..”, Tante Sofi kini mengikuti gerakanku. Pinggulnya seperti berdansa ke kiri kanan. Liang vaginanya bertambah licin saja. Penisku kian lama kian lancar, kupercepat goyanganku hingga terdengar bunyi selangkangannya yang becek bertemu pangkal pahaku. Plak.., plak.., plak.., plak.., aduh nikmatnya perempuan setengah baya ini. Mataku merem melek memandangi wajah keibuan Tante Sofi yang masih saja mengeluarkan senyuman. Nafsuku semakin jalang, gerakanku yang tadinya santai kini tak lagi berirama. Buah dadanya tampak bergoyang ke sana ke mari, mengundang bibirku beraksi.
“ooohh sayang kamu buas sekali. hmm…, tante suka yang begini, ooohh…, genjot terus mm”.
“Uuhh tante nikmat tante…, mm tante cantik sekali ooohh..”.
“Kamu senang sekali susu tante yah? ooohh sedooot teruuus susu tanteee aahh…, panjang sekali peler kamu ooohh, Didiii…, aahh”.Jeritannya semakin keras dan panjang, denyutan vaginanya semakin terasa menjepit batang penisku yang semakin terasa keras dan tegang.
“Di..?”, dengusannya turun naik.
“Yah uuuhh ada apa tante…”.
“Kamu bener-bener hebat sayang…, ooowwww…, uuuhh.., tan.., tante.., mau keluar hampiiirr…, aahh…”, gerakan pinggulnya yang liar itu semakin tak karuan, tak terasa sudah lima belas menit kami berkutat.
“ooohh memang enaak tante, ooohh…, Tante Sofi. Tante Sofi, ooohh…, tante, ooohh…, nikmat sekali tante, ooohh..” aku bahkan tak mengerti apa maksud kata “keluar” itu. Aku hanya peduli pada diriku, kenikmatan yang baru pertama kali kurasakan seumur hidup. Tak kuhiraukan tubuh Tante Sofi yang menegang keras, kuku-kuku tangannya mencengkeram punggungku, pahanya menjepit keras pinggangku yang sedang asyik turun naik itu, “aahh…, Di.., diii…, tante ke…luaarrr laagiii…, aahh”, vagina Tante Sofi terasa berdenyut keras sekali, seperti memijit batangan penisku dan uuhh ia menggigit pundakku sampai kemerahan. Kepala penisku seperti tersiram cairan hangat di dalam liang rahimnya. Sesaat kemudian ia lemas lagi.
“Tante capek? Maaf tante kalau saya keterlaluan..”.
“mm…, nggak begitu Di, yang ini namanya tante orgasme, bukan kamu yang salah kok, justru kamu hebat sekali…, ah, ntar kamu tahu sendiri deh…, kamu tunggu semenit aja yah, uuuhh hebat”.
Aku tak tahu harus bilang apa, penisku masih menancap di liang kemaluan Tante Sofi.
“Kamu peluk tante dong, mm”.
“Ahh tante, saya boleh lanjutin nggak sih?”.
“Boleh, asal kamu jangan goyang dulu, tunggu sampai tante bangkit lagi, sebentaar aja. Mainin susu tante saja ya?”.
“Baik tante…”.
Kau tak sabar ingin cepat-cepat merasakan nikmatnya “keluar” seperti Tante Sofi. Ia masih diam saja sambil memandangiku yang sibuk sendiri dengan puting susu itu. Beberapa saat kemudian kurasakan liang vaginanya kembali bereaksi, pinggulnya ia gerakkan.
“Di..”.
“Ya tante?”.
“Sekarang tante mau puasin kamu, kasih tante yang di atas ya, sayang…, mmhh, pintar”.
Posisi kami berbalik. Kini Tante Sofi menunggangi tubuhku. Perlahan tangannya kembali menuntun batang penisku yang masih tegang itu memasuki liang kenikmatannya, dan uuuhh terasa lebih masuk.
Tante Sofi mulai bergoyang perlahan, payudaranya tampak lebih besar dan semakin menantang dalam posisi ini. Tante Sofi berjongkok di atas pinggangku menaik-turunkan pantatnya, terlihat jelas bagaimana penisku keluar masuk liang vaginanya yang terlihat penuh sesak, sampai bibir kemaluan itu terlihat sangat kencang.
“ooohh enaak tante…, oooh Tante Sofi…, oooh Tante Sofi…, ooo tante…, hmm, enaak sekali…, ooohh..” kedua buah payudara itu seperti berayun keras mengikuti irama turun naiknya tubuh Tante Sofi.
“Remeees susu tante sayang, ooohh…, yaahh.., pintar kamu…, ooohh…, tante nggak percaya kamu bisa seperti ini, ooohh…, pintar kamu Didi ooohh…, ganjal kepalamu dengan bantal ini sayang”, Tante Sofi meraih bantal yang ada di samping kirinya dan memberikannya padaku.
“Maksud tante supaya saya bisa…, crup.., crup..”, mulutku menerkam puting panyudaranya.
“Yaahh sedot susu tante lagi sayang…, mm.., yak begitu teruuus yang kiri sayang ooohh”.
Tante Sofi menundukkan badan agar kedua buah dadanya terjangkau mulutku. Decak becek pertemuan pangkal paha kami semakin terdengar seperti tetesan air, liang vaginanya semakin licin saja. Entah sudah berapa puluh cc cairan kelamin Tante Sofi yang meluber membasahi dinding vaginanya. Tiba-tiba aku teringat adegan filn porno yang tadi kulihat, “yap…, doggie style!” batinku berteriak kegirangan, mendadak aku menahan goyangan Tante Sofi yang tengah asyik.
“Huuuhh…, ooohh ada apa sayang?”, nafasnya tersenggal.
“Saya mau pakai gaya yang ada di film, tante”.
“Gaya yang mana, yah…, ada banyak tuh?”.
“Yang dari belakang trus tante nungging”.
“Hmm…, tante ngerti…, boleh”, katanya singkat lalu melepaskan gigitan vaginanya pada penisku.
“Yang ini maksud kamu”, Tante Sofi menungging tepat di depanku yang masih terduduk.
“Iya tante..” Hmm lezatnya, pantat Tante Sofi yang besar dan belahan bibir vaginanya yang memerah, aku langsung mengambil posisi dan tanpa permisi lagi menyusupkan penisku dari belakang. Kupegangi pinggangnya, sebelah lagi tanganku meraih buah dada besarnya.
“ooohh…, nggg…, yang ini hebaat Di…, ooohh, genjot yang keras sayang, ooohh…, tambah keras lagi…, uuuhh..”.
“ooohh tante…, taannn..teee…, ooohh…, nikmat tante Sofiii..”.
Kepalanya menggeleng keras ke sana ke mari, aku rasa Tante Sofi sedang berusaha menikmati gaya ini dengan semaksimal mungkin. Teriakannyapun makin ngawur.
“ooohh…, jangan lama-lama lagi sayang tante mau keluar lagi oooh..” aku menghentikan gerakan dan mencabut penisku.
“Baik tante sekarang…, mm, coba tante berbaring menghadap ke samping, kita selesaikan dengan gaya ini”.
“Goodness! Kamu sudah mulai pintar sayang mmhh”, Tante Sofi mengecup bibirku.
Perintahkupun diturutinya, ia seperti tahu apa yang aku inginkan. Ia menghempaskan badannya kembali dan berbaring menghadap ke samping, sebelah kakinya terangkat dan mengangkang, aku segera menempatkan pinggangku di antaranya. Buah penisku bersiap lagi.
“aahh tante…, uuuhh…, nikmat sekali, ooohh…, tante sekarang Tante Sofi, ooohh…, saya nggak tahan tanteee…, enaak…, ooohh”.
“Tante juga Didi…, Didi…, Didi sayaanggg, ooohh…, keluaar samaan sayaang oooh” kami berdua berteriak panjang, badanku terasa bergetar, ada sebentuk energi yang maha dahsyat berjalan cepat melalui tubuhku mengarah ke bawah perut dan, “Craat…, cratt…, craatt…, crattt”, entah berapa kali penisku menyemburkan cairan kental ke dalam rahim Tante Sofi yang tampak juga mengalami hal yang sama, selangkangan kami saling menggenjot keras. Tangan Tante Sofi meremas sprei dan menariknya keras, bibirnya ia gigit sendiri. Matanya terpejam seperti merasakan sesuatu yang sangat hebat.
Beberapa menit setelah itu kami berdua terkapar lemas, Tante Sofi memelukku erat, sesekali ia mencium mesra. Tanganku tampaknya masih senang membelai lembut buah dada Tante Sofi. Kupintir-pintir putingnya yang kini mulai lembek. Mataku memandangi wajah manis perempuan paruh baya itu, meski umurnya sudah berkepala empat namun aku masih sangat bernafsu melihatnya. Wajahnya masih menampakkan kecantikan dan keanggunannya. Meski tampak kerutan kecil di leher wanita itu tapi…, aah, persetan dengan itu semua, Tante Sofi adalah wanita pertama yang memperkenalkan aku pada kenikmatan seksual. Bahkan dibanding Devi, Rani, Shinta dan teman sekelasku yang lain, perempuan paruh baya ini jauh lebih menarik.
“Tante nggak nyangka kamu bisa sekuat ini, Di..”.
“Hmm…”.
“Betul ini baru yang pertama kali kamu lakukan?”.
“Iya tante..”.
“Nggak pernah sama pacar kamu?”.
“Nggak punya tante…”.
“Yang bener aja ah”.
“Iya bener, nggak bohong kok, tante…, tante nggak kapok kan ngajarin saya yang beginian?”.
“Ya ampuuun..” Ia mencubit genit, “masa sih tante mau ngelepasin kamu yang hebat gini, tahu nggak Di, suami tante nggak ada apa-apanya dibanding kamu..”.
“Maksud tante?”.
“Om Totomu itu kalau main paling lama tiga menit…, lha kamu? Tante sudah keluar beberapa kali kamu belum juga, apa nggak hebat namanya”.
“Ngaak tahu deh tante, mungkin karena baru pertama ini sih…”.
“Tapi menurut tante kamu emang punya bakat alam, lho? Buktinya baru pertama begini saja kamu sudah sekuat itu, apalagi kalau sudah pengalaman nanti…, pasti tante kamu bikin KO…, lebih dari yang tadi”.
“Terima kasih tante..”.
“Untuk?”.
“Untuk yang tadi..”.
“Tante yang terima kasih sama kamu…, kamu yang pertama membuat tante merasa seperti ini”.
“Saya nggak ngerti…”.
“Di.., dua puluh tahun lebih sudah usia perkawinan tante dengan Om Toto. Tak pernah sedetikpun tante menikmati hubungan badan yang sehebat ini. Suami tante adalah tipe lelaki egois yang menyenangkan dirinya saja. Tante benar-benar telah dilecehkannya. Belakangan tante berusaha memberontak, rupanya dia sudah mulai bosan dengan tubuh tante dan seperti rekannya yang lain sesama pejabat, ia menyimpan beberapa wanita untuk melampiaskan nafsu seksnya. Tante tahu semua itu dan tante nggak perlu cerita lebih panjang lebar karena pasti kamu sudah sering mendengar pertengkaran tante”, Suaranya mendadak serius, tanganku memeluk tubuhnya yang masih telanjang. Ada sebersit rasa simpati mendengar ceritanya yang polos itu, betapa bodohnya lelaki bernama Om Toto. Perempuan secantik dan senikmat ini di biarkan merana.
“Kriiing…, kriiing…, kriiing”, aku terhenyak kaget.
“Celaka..! Pasti…, mmungkin?, tante…, gimana nih?”.
“pssstt..” Ia menempelkan telunjukknya di bibirku lalu tangan tante Sofi mengangkat gagang telfon yang berada di samping tempat tidur. Ia terduduk, masih tanpa busana, pemandangan asyik untukku yang ada tepat di belakangnya.
“Celaka, jangan-jangan…, Om Toto tahu.., Ah nggak munkin mereka sudah sampai di LA..”, batinku merasa khawatir.
“Halooo…, eh Son?”, aku tambah khawatir.
“Udah nyampe kalian..?”.
“ooo…, mereka sudah di…”, hatiku agak lega mendengarnya.
“Lia sama adik kamu gimana?”, ternyata Sonny menelfon dari Amerika. Hanya memberitahu mamanya kalau mereka sudah sampai. Tampak sekali hubungan Om Toto dan istrinya sedang renggang, tak kudengar mereka berbicara. Hanya Sonny dan Julia.
“Kamu nanti kalau balik ke sini bawa oleh-oleh lho?”, tanganku iseng meraba punggungnya yang halus mulus. Tante Sofi melirik nakal sambil terus berbicara. “Apa aja yang penting ada buat Mama…, eh!” ia merasa geli saat aku mencium pinggangnya, aku memeluknya dari arah belakang, tanganku meraba permukaan buah dada itu dan sedikit memijit.
“Ah nggak…, ada nyamuk di kaki Mama…, hmm, trus pacar kamu gimana, kirain jadi ngajak doi ke situ”, kepalaku kini bersandar di atas pahanya, mataku lagi-lagi melirik buah dada itu, tangankupun, “ahh…, aduh nyamuknya banyak sekarang yah, ooo Mama kan belum tutup jendela…, hmm..” mata Tante Sofi terpejam begitu tanganku menyentuh permukaan buah dadanya, merayap perlahan menyusuri kelembutan bukit indah itu menuju puncak dan, ” mm a..” aku memintir putingnya yang coklat kemerahan itu. “Mama lagi baca ini lho artikel masakan khas Amerika latin kayaknya nikmat ya?” telapak tanganku mulai lagi, meremasnya satu persatu, “Hmm”, Tante Sofi rupanya pintar juga membuat alasan pada anaknya. Sambil terus berbicara di telepon dengan sebelah tangannya ia meraih penisku yang mulai tegang lagi. Aku hampir saja lupa kalau ia sedang on line, hampir saja aku mendesah. Untung Tante Sofi cepat menyumbat mulutku dengan tangannya. Nyaris saja.
“Eh, kakakmu gimana prestasinya”, jari telunjuk Tante Sofi mengurut tepat di leher bawah kepala penisku, semakin tegang saja, shitt…, aku nggak bisa bersuara. Aku tak tahan dan beranjak turun dari tempat tidur itu dan langsung berjongkok tepat di depan pahanya di pinggiran spring bed, menguak sepasang paha montok dan putih itu ke arah berlawanan.
“mmhh…, aahh…, oh nggak, Mama cuma sedikit kedinginan…, uuuhh” lidahku langsung mendarat di permukaan segitiga terlarang itu.
“ssshh yaa…,enakkk..”, Tante Sofi sedikit keceplosan.
“Ini…, nih, Mama tadi dibawain fried chicken sama tante Maurin” ia beralasan lagi.
Lidahku kian mengganas, kelentit sebesar biji kacang itu sengaja kusentuh.
“mm fuuuhh…, Mama ngantuk nih…, mau bobo dulu, capek dari kerja tadi, yah?
“Udahan dulu ya sayang…, besok Mama yang telfon kalian…, daah”, diletakkannya gagang telepon itu lalu Tante Sofi mematikan sistem sambungannya.
“Lho kok dimatiin teleponnya tante?”.
“Tante nggak mau diganggu siapapun malam ini, malam ini tante punya kamu, sayang. Tante akan layani kamu sampai kita berdua nggak kuat lagi. Kamu boleh lakukan apa saja. Puaskan diri kamu sayang aahh”, aku tak mempedulikan kata-katanya, lidahku sibuk di daerah selangkangannya.
Malam itu benar-benar surga bagi kami, permainan demi permainan dengan segala macam gaya kami lakukan. Di karpet, di bathtub, bahkan di ruang tengah dan di meja kerja Om Toto sampai sekitar pukul tiga dini hari. Kami sama-sama bernafsu, aku tak ingat lagi berapa kali kami melakukannya. Seingatku disetiap akhir permainan, kami selalu berteriak panjang. Benar-benar malam yang penuh kenikmatan.
Aku terbangun sekitar jam 11 siang, badanku masih terasa sedikit pegal. Tante Sofi sudah tidak ada di sampingku.
“Tante..?” pangilku setengah berteriak, tak ada jawaban dari istri Om Toto yang semalam suntuk kutiduri itu. Aku beranjak dari tempat tidur dan memasang celana pendek, sprei dan bantal-bantal di atas tempat tidur itu berantakan, di banyak tempat ada bercak-bercak bekas cairan kelamin kami berdua. Aku keluar kamar dan menemukan secarik kertas berisi tulisan tangan Tante Sofi, ternyata ia harus ke tempat kerjanya karena ada kontrak yang harus dikerjakan.
“Hmm…, padahal kalau main baru bangun tidur pastilah nikmat sekali”, pikiranku ngeres lagi.
Aku kembali ke kamar Tante Sofi yang berantakan oleh kami semalam, lalu dengan cekatan aku melepas semua sprei dan selimut penuh bercak itu. Kumasukkan ke mesin cuci. Tiga puluh menit kemudian kamar dan ruang kerja Om Toto kubuat rapi kembali. Siap untuk kami pakai main lagi.
“Fuck..! Aku lupa sekolah…, ampuuun gimana nih”, Sejenak aku berpikir dan segera kutelepon Tante Sofi di kantornya.
“Halo PT. Chandra Asri International, Selamat pagi”, suara operator.
“Ya Pagi.., Bu Sofi ada?”.
“Dari siap, pak?”.
“Bilang dari Sonny, anaknya..”.
“Oh Mas sonny”.
“Huh dasar sok akrab”, umpatku dalam hati.
“Halo Son, sorry Mama nggak nelpon kamu pagi ini…, Mama telat bangunnya” aku diam saja.
“Halo…, halo…, Son.., Sonny”.
“Saya, Tante. Didi bukan Mas Sonny…”.
“Eh kamu sayang…, gimana? mau lagi? Sabar ya, tungguin tante..”.
“Bukan begitu tante.., tapi saya jadi telat bangun…, nggak bisa masuk sekolah”.
“Oooh gampang.., ntar tante yang telepon Pak Yogi, kepala sekolah kamu itu…, tante bilang kamu sakit yah?”.
“Nggak ah tante, ntar jadi sakit beneran..”.
“Tapi emang benar kan kamu sakit…, sakit.., sakit anu! Nah lo!”.
“aah, tante…, tapi bener nih tante tolong sekolah saya di telepon yah?”.
“Iya…, iya.., eh Di.., kamu kepingin lagi nggak..”.
“Tante genit”.
“Nggak mau? Awas lho Tante cari orang lain..”.
“Ah Tante, ya mau dong…, semalam nikmat yah, tante..”.
“Kamu hebat!”.
“Tante juga…., nanti pulang jam berapa?”.
“Tunggu aja…, sudah makan kamu?”.
“Belum, tante sudah?”.
“Sudah…, mm, kalau gitu kamu tunggu aja di rumah, tante pesan catering untuk kamu…, biar nanti kamu kuat lagi”.
“Tante bisa aja…, makasih tante..”.
“Sama-sama, sayang…, sampai nanti ya, daahh”.
“Daah, tante”.
Tak sampai sepuluh menit seorang delivery service datang membawa makanan.
“Ini dari, Bu Sofi, Mas talong ditandatangan. Payment-nya sudah sama Bu Sofi”.
“Makasih, mang..”.
“Sama-sama, permisi..”.
Aku langsung membawanya ke dalam dan menyantapnya di depan pesawat TV, sambil melanjutkan nonton film porno, untuk menambah pengalaman. Makanan kiriman Tante Sofi memang semua berprotein tinggi. Aku tahu benar maksudnya. Belum lagi minuman energi yang juga dipesannya untukku. Rupanya istri Om Toto itu benar-benar menikmati permainan seks kami semalam, eh aku juga lho…, kan baru pertama. Sambil terus makan dan menyaksikan film itu aku membayangkan tubuh dan wajah Tante Sofi bermain bersamaku. Penisku terasa pegal-pegal dibuatnya. Huh…,aku mematikan TV dan menuju kamarku.
“Lebih baik tidur dan menyiapkan tenaga…”, aku bergumam sendiri dalam kamar.Sambil membaca buku pelajaran favorit, aku mencoba melupakan pikiran-pikiran tadi. Lama-kelamaan akupun tertidur. Jam menunjukkan pukul 12.45.
Sore harinya aku terbangun oleh kecupan bibir Tante Sofi yang ternyata sudah ada di sampingku.
“Huuuaah…, jam berapa sekarang tante?”.
“Hmm.., jam lima, tante dari tadi juga sudah tidur di sini, sayang kamu tidur terlalu lelap. Tante sempat tidur kurang lebih dua jam sejak tante pulang tadi, gimana, kamu sudah pulih..”.
“Sudah dong tante, empat jam lebih tidur masa sih nggak seger..”, kami saling berciuman mesra, “crup…, crup”, lidah kami bermain di mulutnya.
“Eh…, tante mau jajan dulu ah…, sambil minum teh, yuuk di taman. Tadi tante pesan di Dunkin…, ada donat kesukaan kamu”, ia bangun dan ngeloyor keluar kamar.
“Uh.., Tante Sofi..”, gumamku pelan melihat bahenolnya tubuh kini terbungkus terusan sutra transparan tanpa lengan. Bayangan CD dan BH-nya tampak jelas.
Aku masih senang bermalas-malasan di tempat tidur itu, pikiranku rasanya tak pernah bisa lepas dari bayangan tubuhnya. Beberapa saat saja penisku sudah tampak tegang dan berdiri, dasar pemula! Sejak sering tegang melihat tubuh Tante Sofi sebulan belakangan ini, aku memang jarang memakai celana dalam ketika di rumah agar penisku bisa lebih leluasa kalau berdiri seperti ini.
“Hmm, tante Sofi…, aahh” desahku sambil menggenggam sendiri penisku, aneh…, aku membayangkan orang yang sudah jelas bisa kutiduri saat itu juga, tak tahulah…, rasanya aku gila!
Tanganku mengocok-ngocok sendiri hingga kini penis besar dan panjang itu benar-benar tegak dan tampak perkasa sekali. Aku terus membayangkan bagaimana semalam kepala penis ini menembus dan melesak keluar masuk vagina Tante Sofi. Kutengok ke sana ke mari.
“Tante..”, panggilku.
“Di dapur, sayang”, sahutnya setengah berteriak, aku bergegas ke situ, kulihat ia sedang menghangatkan donat di microwave. Dan…, uuuhh, tubuh yang semalam kunikmati itu, dari arah belakang…, bayangan BH dan celana dalam putih di balik gaun sutranya yang tipis membuatku berkali-kali menelan ludah.
“uuuhh tante…, sayang”, tak sanggup lagi rasanya aku menahan birahiku, kupeluk ia dari belakang, sendok yang ada di tangannya terjatuh, penisku yang sudah tegang kutempelkan erat di belahan pantatnya.
“Aduuuhh…, Didi nakal kamu ah..” ia melirikku dengan pandangan menggoda. Aku semakin berani, tangan kananku meraih buah dada Tante Sofi dari celah gaun di bawah ketiaknya. Lalu tangan kiriku merayap dari arah bawah, paha yang halus putih mulus itu terus ke arah gundukan kemaluannya yang masih berlapis celana dalam. Telunjuk dan jari tengahku langsung menekan, mengusap-usap dan mencubit kecil bibir kemaluannya.
“Ehhmm…, nnggg…, aahh…, nakaal, Didi”.
“Tante…, tante, saya nggak tahan ngeliat tante…, saya bayangin tubuh tante terus dari tadi pagi” Tangan kiriku menarik ujung celana dalam itu turun, ia mengangkat kakinya satu persatu dan terlepaslah celana dalamnya yang putih. Kutarik cup BH-nya ke atas hingga tangan kananku kini bebas mengelus dan meremas buah dadanya. Dengan gerak cepat kulorotkan pula celana dalam yang kupakai lalu bergegas tangan kiriku menyingkap gaun sutranya ke atas. Kudorong tubuh Tante Sofi sampai ia menunduk dan terlihaylah dengan jelas celah vaginanya yang masih tampak tertutup rapat. Aku berjongkok tepat di belakangnya.
“Idiiihh, Didi. Tante mau diapain nih..”, katanya genit. Lidahku menjulur ke arah vaginanya. Aroma daerah kemaluan itu merebak ke hidungku, semakin membuatku tak sabar dan…, “huuuhh…, srup.., srup.., srup”, sekali terkam bibir vagina sebelah bawah itu sudah tersedot habis dalam mulutku.
“aahh.., Didi…, enaakkk..”, jerit perempuan setengah baya itu, tangannya berpegang di pinggiran meja dapur.
“aawwww…, geliii”, kugigit pantatnya. Uuh, bongkahan pantat inilah yang paling mengundang birahiku saat melihatnya untuk pertama kali. Mulus dan putih, besar menggelembung dan montok.
Lima menit kemudian aku berdiri lagi setelah puas membasahi bibir vaginanya dengan lidahku. Kedua tanganku menahan gerakan pinggulnya dari belakang, gaun itu masih tersingkap ke atas, tertahan jari-jari tanganku yang mencengkeram pinggulnya. Dan hmm, kuhunjamkan penis besar dan tegang itu tepat dari arah belakang, “Sreeep…, Bleeesss”, langsung menggenjot keluar masuk vagina Tante Sofi.
“aahh…, Didi…, enaak…, huuuhh tante senang yang ini ooohh..”
“Enak kan tante…, hmm…, ooohh…, agak tegak tante biar susunya…, yaakkk oooh enaakk”.
“Yaahh…, tusuk yang keras…, hmm…, tante nggak pernah gini sebelumnya…, ooohh enaakk pintarnya kamu sayaang…, ooohh enaak…, terus…, terus yah tarik dorong keeeraass…, aahh…, kamu yang pertama giniin tante, Di…, ooohh…, ssshh..”, hanya sekitar tiga menit ia bertahan dan, “Hooohh…, tante…, mauuu…, keluar…, sekarang…, ooh hh…, sekarang Di, aahh…”. Vaginanya menjepit keras, badannya tegang dengan kepala yang bergoyang keras ke kiri dan ke kanan.
Aku tak mempedulikannya, memang sejenak kuberi ia waktu menarik nafas panjang. Aku membiarkan penisku yang masih tegang itu menancap di dalam. Ia masih menungging kelelahan.
“Balik tante..”, Pintaku sambil melepaskan gigitan di kemaluannya.”Apalagi, sayang…, ya ampun tante nggak kuat.., aahh”.
Aku meraih sebuah kursi.ia mengira aku akan menyuruhnya duduk, “Eiih bukan tante, sekarang tante nyender di dinding, Kaki kiri tante naik di kursi ini..”.
“Ampuuun, Didi…, tante mau diapain sayang..”, ia menurut saja.
Wooow! Kudapatkan posisi itu, selangkangan itu siap dimasuki dari depan sambil berdiri, posisi ini yang membuatku bernafsu.
“Sekarang tante…, yaahh..”, aku menusukkan penisku dari arah depannya, penisku masuk dengan lancar. Tanganku meremas kedua susunya sedangkan mulut kami saling mengecup.
“mmhh…, hhmm..”, ia berusaha menahan kenikmatan itu namun mulutnya tertutup erat oleh bibirku.
Hmm, di samping kanan kami ada cermin seukuran tubuh. Tampak pantatku menghantam keras ke arah selangkangannya. Penisku terlihat jelas keluar masuk vaginanya. Payudaranya yang tergencet dada dan tanganku semakin membuatku bernafsu.
“Cek.., cek.., cek”, gemercik suara kemaluan kami yang bermain di bawah sana. Kulepaskan kecupanku setelah tampak tanda-tanda ia menikmatinya.
“uuuhh hebaat…,, kamu sayang…, aduuuh mati tante…, aahh enaak mati aku Di, ooohh…, ayo keluarin sayang…, aahh tante capeeekkk…, sudah mau sampai lagi niiih aahh..” wajahnya tampak tegang lagi, pipinya seperti biasa, merah, sebagai tanda ia segera akan orgasme lagi.
Kupaksakan diriku meraih klimaks itu bersamaan dengannya. Aku agaknya berhasil, perlahan tapi pasti kami kemudian saling mendekap erat sambil saling berteriak keras.
“aahh…, tante keluaar..”.
“Saya juga tante huuhh…, nikmat.., nikmat…, ooohh…, Tante Sofi…, aahh”, dan penisku, “Crat.., crat.., crat.., seeer”, menyemprotkan cairannya sekitar lima enam kali di dalam liang vagina Tante Sofi yang juga tampak menikmati orgasmenya untuk kedua kali.
“Huuuhh…, capeeekk…, sayang” ia melepaskan pelukannya dan penisku yang masih menancap itu. Hmm, kulihat ada cairan yang mengalir di pahanya bagian dalam, ada yang menetes di lantai.
“Mau di lap tante?”, aku menawarkan tissue.
“Nggak sayang…, tante senang, kok. Tante bahagia…, yang mengalir itu sperma kamu dan cairan kelamin tante sendiri. Tante ingin menikmatinya..”, ia berkata begitu sambil memberiku sebuah ciuman.
“Hmm.., Tante Sofi..”, Kuperbaiki letak BH dan rambutnya yang acak-acakan, kemudian ia kembali menyiapkan jajanan yang sempat terhenti oleh ulah nakalku.
Aku kembali ke kamar dan keluar lagi setelah mengenakan baju kaos. Tante Sofi telah menunggu di taman belakang rumahnya yang sangat luas, kira-kira sekitar 25 acre. Kami duduk santai berdua sambil bercanda menikmati suasana di pinggiran sebuah danau buatan. Sesekali kami berciuman mesra seperti pengantin baru yang lagi haus kemesraan. Jadilah dua minggu kepergian keluarga Om Toto itu surga dunia bagiku dan Tante Sofi. Kami melakukannya setiap hari, rata-rata empat sampai lima kali sehari!
Menjelang sore, Tante Sofi mengajakku mandi bersama. Bisa ditebak, kami melakukannya lagi di bathtub kamar mandi mewah itu. Saling menyabuni dan…, hmm, bayangin sendiri deh. Itulah pengalaman pribadiku saat pertama mengenal seks bersama guru seks-ku yang sangat cantik, Tante Sofi.